Header Ads

Semua Tentang Batak - Batak Network

Becak Siantar dalam Kenangan

Becak Siantar dalam Kenangan. Ini bukan kisah Renegade ala USA. Tapi, kisah nostalgia becak Siantar.

Becak Siantar
“Sekarang bukan masanya lagi,” kata Nasution, salah satu pemilik becak Siantar suatu kali berkeluh kesah. “Kalau dulu bisalah. Siang mangkal di perempatan, raun-raun hingga sore dan membawa pulang uang untuk mengasapi dapur.”

Becak Siantar” yang pernah jadi ikon dan kini jatuh miskin lagi (jamila) itu mulai diomelinya. “Memang sudah dua tahun terakhir ini kami malas-malasan,” katanya sambil menunjuk becak yang memang sedang tidur di depan rumahnya.

Pasalnya, becak—becak itu tidak sanggup lagi bertahan dan bersaing dengan keborosan dan kelambanannya. Kalah jauh dengan angkot yang tarifnya lebih murah, lebih cepat dan tidak bising.

Niat Langgiu, ketua organisasi Gabemas (Gabungan Becak Siantar) untuk “menyatukan” suara untuk meremajakan becak-becak itu pun tampaknya tidak digubris Nasution. “Mana mungkin ada bapak angkat mau membantu,” katanya.

Kota ini semakin ramai. Walaupun demikian, sebenarnya ini bukan pertanda baik bagi mereka dengan kenderaan gede beroda tiga yang sering mangkal di sepanjang sisi ruko-ruko bertingkat di sepanjang jalan raya itu.

Konon, becak yang sering disebut-sebut sebagai ikon Kota Pematang Sintar itu pernah berjaya di tahun 1970-an dengan jumlah yang tidak sedikit pula. Mereknya beranekaragam mulai dari BSA, Norton, Triumph dan Ariel (bukan vokalis Peter Pan, loh)

Langgiu melanjutkan. “Jujur saya katakan, jika tidak didukung dengan usaha lain, becak itu akan mati. Beruntung sebagian abang becak itu masih punya istri baik, yang berjualan di pasar. Becak itu lantas dijadikan sekaligus menjadi tranportasi pribadi. Namun kalau mau cari untung, jangan haraplah.”

Jika pun ada yang ingin naik becak ini, mereka hanya ingin mengulang nostalgia masa-masa kejayaannya dulu. Memang becak ini dulunya ngetren habis. Makanya siang yang panas itu banyak abang becak yang ngantuk menjadi malas, kata Langgiu.

Menunggu Durian Jatuh

Pada awalnya adalah motor gede ini adalah kenderaan pribadi para tuan-tuan jaman Belanda dulu, namun lama kelamaan Motor yang diboyong dari Inggris pada dekade 1940 hingga 1950-an ini beralih menjadi becak.

Jumlahnya sekarang sekitar 400-an meski sesuai pendataan yang dilakukan CV. Gabemas, pada tahun 1970-80an jumlahnya berkisar 1500-an.

“Nihilnya persediaan suku cadang membuat becak ini terpaksa didudukkan. Memang sebagian masih bertahan, itu pun karena masih ada bengkel-bengkel yang masih memilki kemampuan untuk menanganinya. Caranya dengan membubut dan mengelas suku cadang lama dan dipasang kembali,” kata Langgiu.

“Sejak BBM naik jumlah penumpang pun berkurang, hasilnya pun tidak cukup untuk mengepuli asap di dapur,” kata Bodin Nasution (55) yang sudah puluhan tahun menarik becak.

Hal serupa juga dialami Sugito GP (55), Suwarno (50), Rusli Nasution (50), dan beberapa abang becak yang sering mangkal si simpang tiga Jalan Kartini itu. “Untung aja ada pendapatan sampingan. Istri saya berdagang di pasar,” kata Sugito.

Akibatnya mereka pun tak enggan menjual becaknya “Tapi hanya kolektor pecinta motor tua yang mau beli ini,” kata Langgiu. Seorang pembeli memang pernah membeli becaknya Rp 15 juta da Rp 10 juta. Tapi akhir-akhir ini langka. “Sampai kapan mengharapkan durian runtuh?” katanya.

Siang itu, dua orang menghampiri mereka. Tapi, mereka tampak biasa-biasa saja. “Pasti tawarannya murah,” ujar seorang dari mereka. Dan tawar-menawar pun terjadi. “Penumpang sekarang sudah manja,” katanya setelah transaksi gagal dan kedua orang itu pun pergi. Siang itu mereka kembali menikmati siang itu, bermalas-malasan. (Becak Siantar dalam Kenangan - tw)

Sumber: medantalk.com

loading...

No comments

Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.

Powered by Blogger.