Mengenal Sosok "TONGAM SIRAIT"
BECAK SIANTAR | Mengenal Sosok TONGAM SIRAIT - VOKALIS / PENCIPTA LAGU & YANG INOVATIF
Ketika Tapian menghubungi Saudara Tongam Sirait lewat telepon selulernya, dia menerangkan bahwa, dia saat itu sedang berada di sekitar pantai Danau Toba {Tiga Raja} membersihkan pantai danau itu, dari sampah plastik dan botol-botol Aqua yang berserakan di sekitar pantai. Datanglah lae kesini, biar lae lihat semuanya, bahwa aku nggak bohong. Tak ada orang yang bisa kita suruh untuk membersihkan sampah plastik ini lanjutnya, jadi akulah yang harus memulai, sering aku menangis kalau memikirkan hal ini katanya lagi. Menurut pemikiran Tongam, sampah-sampah yang berserakan di pantai itu, juga jadi salah satu penyebab sepinya turis yang datang ke Danau Toba.
Mungkin suatu saat nanti, tamu-tamu itu akan datang lagi lae, cetusnya sambil berharap.
Tongam Sirait adalah sosok seorang musisi Batak, sebagai sosok yang banyak menarik perhatian dan menjadi buah bibir dikalangan anak-anak muda Batak, di desa maupun di kota yang merindukan hadirnya ihutan (panutan) baru. Dia memang mampu keluar dari konsep musik vokal trio, yang selama ini umum dikenal masyarakat luas, sebagai trade mark penyanyi-penyanyi ber-etnis Batak.
Kekuatan karakter solo Vokal dari Tongam Sirait yang tebal, dengan range interval yang luas namun tebal, menjadi cirinya yang unik. Tidak seperti umumnya penyanyi- penyanyi Batak yang sangat menonjolkan vokal-vokal tinggi dan melengking. Pada diri Tongam adalah suara tenor dengan artikulasinya yang sangat jelas dan lembut, namun ada kalanya Tongam bernyanyi sampai alto yang sangat tegas, seperti dalam lagu “Come to lake Toba”.
Tongam juga cukup piawai dalam hal memainkan gitar, lick (skill) gitarnya berbobot. Pada saat cek sound Tongam sering mencoba beberapa finggering (penempatan posisi jari) yang cukup kompleks, hal itu terlihat ketika Tongam dan Viky Sianipar tampil bersama dalam acara Gondang Naposo, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di Rawamangun Jak-Tim, 26 januari 2008 lalu. Ini juga membuatnya berbeda dengan penyanyi-penyanyi yang hanya bisa menyanyi saja.
Disisi lain Tongam juga cukup menonjol dalam menulis lirik dan lagu. Dalam hal menciptakan lagu-lagunya, Tongam dengan sadar untuk mengenyampingkan gaya andung-andung (ratap tangis yang dilantunkan) Sebab andung-andung sudah mencapai puncak ekspresi generasi masa lampau. Zaman sekarang adalah era R&B dan hip-hop yang mewabahi dunia anak muda, dan anak muda Batak memang sudah jenuh dari hal-hal yang lama, mereka menginginkan sesuatu yang baru dan segar untuk bisa dibanggakan sebagai identitas budayanya. Disamping itu, anak muda adalah pangsa pasar yang potensial dalam industri musik. Fenomena inilah yang membuat Tongam berputar haluan, untuk menemukan genre tersendiri dalam khasanah musik yang menggunakan bahasa Batak.
Albumnya yang pertama “Nomenssen”, justru menjadi titik balik generasi muda Batak di perantauan, untuk mulai belajar dan kembali menggunakan bahasa Batak.
Paling tidak sambil bernyanyi. Sungguh, ini suatu fenomena yang menyejukkan bagi perkembangan khasanah musik dan budaya Batak khususnya.
Keputusan Tongam membuat musik, yang melawan arus pasar, berdasarkan pertimbangan setelah mengamati kawan-kawannya sendiri, sesama pemusik Batak (segenerasi). Menurut hematnya, banyak dari kawan-kawanya itu yang sudah memproduksi lebih dari satu album rekaman, namun hidupnya tetap prihatin dan tidak dikenal orang. Karena album-album tersebut kurang diminati orang banyak, terutama anak-anak muda, yang lebih dulu berkenalan dan mengkonsumsi musik-musik dari Barat.
Tongam sendiri mengakui, sejak SMP sudah mendengar “Pink Floyd”, bahkan sudah menyanyikan “Wish you where here”, yang dikenalnya dari turis-turis asing, yang kebetulan menginap di rumahnya, di kota wisata Parapat. Kala itu turis asing cukup banyak yang datang berkunjung ke Danau Toba.
Dalam suasan demikian itu-lah Tongam kecil mulai berkenalan secara alamiah, dengan Bahasa Inggris, serta musik yang sering dibawa turis-turis bule itu. Baik melalui kaset maupun sambil gitaran, di lapo orang tuanya Tuan Bos Sirait yang juga sering disinggahi para turis.
Pada tahun 1990 Tongam berangkat ke Bali mencoba keberuntungannya sebagai artis penyanyi Batak, yang bermain musik dari cafe ke cafe hingga Hotel. Sebagaimana lazim kita temukan, kalau kita berkunjung ke Bali, kita juga akan menjumpai banyak anak anak muda Batak yang mencari makan seperti Tongam pada tahun 90-an di Bali.
Bali ketika itu memang sedang booming turis. Hal ini juga menjadi perhatian Tongam, yang berujung tanya, bagaimana dan apa rupanya yang dilakukan orang Bali? Sehingga ketika tak ada lagi turis yang datang ke Danau Toba, Bali malah kebanjiran turis asing. Tongam sendiri ingin menyaksikan dan mempelajari sendiri fenomena tersebut, agar bisa di terapkan di kampung halamannya, bagaimana cara memikat turis kembali ke Danau Toba, yang lagi sepi pengunjung.
Untuk mengatasi hidup di Bali, Tongam juga pernah menjadi anak pantai, menyewakan Board Surf (papan selancar) dan lain-lain. Namun pada masa ini juga, Tongam banyak bersentuhan pada dunia musik yang lebih luas, untuk memperkaya apresiasi serta wawasannya dalam menyerap musik dari belahan dunia lain. Hal ini justru menumbuhkan kecintaannya, terhadap instrumen musik tradisional Batak seperti, Sarune bolon, Hasapi, juga Taganing dan Ogung.
Tongam sangat senang, ketika intrumen-instrumen musik tradisional tersebut juga hadir dan muncul pada Album pertamanya, artinya instrumen tradisi tersebut, tidak hanya menjadi pengiring saja bagi instrumen elektrik yang juga asing itu seperti bass, gitar, keyboard, biola dan drum. Akan tetapi juga kental tradisinya, jika harus dibunyikan pada waktu yang bersamaan dengan instrumen Barat itu tadi.
Pada mulanya memang orang-orang pada kaget waktu pertama kali mendengar Album perdana tersebut, namun lambat laun, seperti ada celah/ruang bagi pendengarnya, untuk mendapatkan benang merah, antara musik dan lagu yaitu penggunaan lirik yang lebih segar, bila kita bandingkan dengan lagu-lagu, yang umumnya kita temukan dalam produksi musik pop Batak.
Lagu ciptaan Lae kita Tongam Sirait ini, memang punya ciri khas yang berbeda. Berbeda karena dia punya motivasi yang kuat, melawan arus pasar, agar tidak mengalami nasib yang sama dengan kebanyakan teman-temannya seprofesi. Yaitu miskin dan tak dikenal orang. Tongam menginginkan perubahan. Dia mencipta dengan sepenuh hati, agar setiap lagu yang dikarangnya selalu mempunyai pesan bijak bagi pendengarnya.
”Mengkel nama ahu”{aku hanya bisa tersenyum} adalah sebuah lagu yang sempurna, untuk menggambarkan kedalaman bathin Tongam. Memang ada kalanya kita tak perlu-meratapi kenyataan hidup ini, kita hanya bisa tersenyum getir, dan mentertawakan diri sendiri. Mari kita simak cuplikan lirik lagu dari “Mengkel nama ahu” itu.
Meskipun demikian, Tongam pun bisa juga bikin lagu tentang cinta dan perpisahan, seperti lagu “Ingotma”(ingatlah) dan “Sugari”(andaikan). Tetapi kedua lagu ini, sungguh dewasa dan tidak mendayu-dayu. Alias tidak cengeng.
Hal ini bisa saja terjadi karena aransemen atau lirik lagunya, yang memang cocok dengan selera dan semangat sang penata musik.
Menurut pengakuan Viky Sianipar, yang berkolaborasi dengan Tongam sebagai penata musik/ arranger dalam album pertama “Nomenssen” mengatakan, bahwa lagu-lagu Tongam dalam Album perdana itu, memang lagu-lagu yang sangat matang, ujar Viky kepada Tapian beberapa waktu yang lalu.
Sehingga tidak begitu sulit bagi Viky, untuk menemukan format musik yang pas, untuk karakter seorang Tongam Sirait, yang tumbuh secara alamiah dan juga sarat pengalaman.
Sebagai pribadi yang unik.
Tongam menguasai sastra Batak dengan baik, menulis Come To Lake Toba dalam Inggris serta menyisipkan Bahasa Indonesia pada Beta hita.
Dia adalah seorang Vokalis yang menciptakan lirik dan lagu.
Mari kita simak lirik lagu dari “Taringot Ahu” yang menggambarkan kenangan indah akan teman sebaya ketika di kampung halaman dulu.
Intro lagu “Taringot ahu” dibuka dengan Gitar string G sharp (bening) dan pad layer diatas Vokal, sangat sederhana, namun dalam hingga membuat kesan jauh. Pada bait ke 3, drum/bass fade in dalam pola chord G D Em C, mulai dari bait Taringot ahu uju tinggal di huta.
Gitar elektrik membuat blok chord yang tebal namun, sampai pada reff kedua berganti tonalitas ke A D C distortion gitar merubah suasana, menjadi lebih rock’in dan dalam interlude, lead gitar Viky pun akhirnya menyeruak hadir dengan manis, mengingatkan kita akan kenangan lampau, yang ditimbulkan oleh efek suara gitar tadi.
Lagu lain yang membawa pesan untuk menyatukan hati ini, liriknya berisi ajakan untuk setiap orang Batak, dimanapun dia berada agar turut serta untuk membenahi kampung halaman, adalah “Tapature”.
Lagu ini, secara utuh diringi oleh instrumen piano yang dimainkan Viky Sianipar dengan baik, namun pada coda {penutup}seruling Korem Sihombing justru menegaskan kesedihan bermotif Hindustan yang dalam.
Sebagai sebuah Lagu yang menghimbau orang Batak di santero bumi ini, untuk membenahi kampung halaman. Maka tidak mengherankan dan sah saja apabila ada orang yang menyimpulkan, bahwa lagu ini sebagai Anthem yang terselubung.
Intro piano dimulai dengan motif yang terinspirasi oleh Simphony no 9 karya Bethoveen.
Kalau Simphoni no 9 dimainkan dengan full orchestra, namun dalam “Tapature” thema hanya dimainkan oleh piano yang berpindah oktaf dan tonalitas. Bait pertama dimainkan dalam chord Mayor, namun sampai Sugarima nian hita marsada berubah menjadi minor
Kemudian pada Oh ale bangso Batak di luat portibion chord kembali dalam Mayor, menjadi sangat dramatik dan efektif, sebagai penyelaras teks/ lirik, yang mengajak orang batak untuk menyatukan hati, membangun Budaya dan Tanah Batak.
Membangun keluarga dan berkarya
Tongam Sirait menikah dengan boru Pasaribu pada tahun 2001, pada saat-saat akhir hidup ibundanya yang sedang kritis, oleh karena perkawinan tersebut ibunda Tongam wafat Saur Matua {berumur panjang dan anak-anaknya sudah berkeluaraga semua}status yang tinggi dalam strata adat Batak. Sekarang dia sudah dikarunia 4 orang anak, masing-masing :
Rap Uli 6 tahun, Imanuel 41/2 tahun, Inri 3 tahun dan Raja 1 tahun. Lae Tongam Sirait ini, sangat mencintai keluarganya dan kecintaanya tersebut dituangkannya dalam lagu “Mauliate” yang menggambarkan, rasa terima kasihnya kepada Tuhan {Debata} karena telah maranak marboru marhasohotan {mempunyai anak laki-laki & perempuan ber-keturunnan}sebagaimana falsafah suku Batak yang menganggap anak adalah harta, dan itu sudah dimilikinya.
Namun Tongam masih gelisah memikirkan album ke 2-nya. Dia akan menulis lagu untuk menghormati Sisingamangaraja.
Baginya Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati Pahlawannya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Sisingamangaraja XII adalah pahlawan Nasional yang diterima semua sub etnik (puak) Batak.
Melalui telpon selulernya ia berpesan kepada Bangso Batak dimanapun mereka berada, mulai dari sekarang, memulai sesuatu dari hal yang kecil, agar menghasilkan kebersamaan ujarnya menutup pembicaraan.
Ketika Tapian menghubungi Saudara Tongam Sirait lewat telepon selulernya, dia menerangkan bahwa, dia saat itu sedang berada di sekitar pantai Danau Toba {Tiga Raja} membersihkan pantai danau itu, dari sampah plastik dan botol-botol Aqua yang berserakan di sekitar pantai. Datanglah lae kesini, biar lae lihat semuanya, bahwa aku nggak bohong. Tak ada orang yang bisa kita suruh untuk membersihkan sampah plastik ini lanjutnya, jadi akulah yang harus memulai, sering aku menangis kalau memikirkan hal ini katanya lagi. Menurut pemikiran Tongam, sampah-sampah yang berserakan di pantai itu, juga jadi salah satu penyebab sepinya turis yang datang ke Danau Toba.
Mungkin suatu saat nanti, tamu-tamu itu akan datang lagi lae, cetusnya sambil berharap.
Tongam Sirait |
Kekuatan karakter solo Vokal dari Tongam Sirait yang tebal, dengan range interval yang luas namun tebal, menjadi cirinya yang unik. Tidak seperti umumnya penyanyi- penyanyi Batak yang sangat menonjolkan vokal-vokal tinggi dan melengking. Pada diri Tongam adalah suara tenor dengan artikulasinya yang sangat jelas dan lembut, namun ada kalanya Tongam bernyanyi sampai alto yang sangat tegas, seperti dalam lagu “Come to lake Toba”.
Tongam juga cukup piawai dalam hal memainkan gitar, lick (skill) gitarnya berbobot. Pada saat cek sound Tongam sering mencoba beberapa finggering (penempatan posisi jari) yang cukup kompleks, hal itu terlihat ketika Tongam dan Viky Sianipar tampil bersama dalam acara Gondang Naposo, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta di Rawamangun Jak-Tim, 26 januari 2008 lalu. Ini juga membuatnya berbeda dengan penyanyi-penyanyi yang hanya bisa menyanyi saja.
Disisi lain Tongam juga cukup menonjol dalam menulis lirik dan lagu. Dalam hal menciptakan lagu-lagunya, Tongam dengan sadar untuk mengenyampingkan gaya andung-andung (ratap tangis yang dilantunkan) Sebab andung-andung sudah mencapai puncak ekspresi generasi masa lampau. Zaman sekarang adalah era R&B dan hip-hop yang mewabahi dunia anak muda, dan anak muda Batak memang sudah jenuh dari hal-hal yang lama, mereka menginginkan sesuatu yang baru dan segar untuk bisa dibanggakan sebagai identitas budayanya. Disamping itu, anak muda adalah pangsa pasar yang potensial dalam industri musik. Fenomena inilah yang membuat Tongam berputar haluan, untuk menemukan genre tersendiri dalam khasanah musik yang menggunakan bahasa Batak.
Albumnya yang pertama “Nomenssen”, justru menjadi titik balik generasi muda Batak di perantauan, untuk mulai belajar dan kembali menggunakan bahasa Batak.
Paling tidak sambil bernyanyi. Sungguh, ini suatu fenomena yang menyejukkan bagi perkembangan khasanah musik dan budaya Batak khususnya.
Keputusan Tongam membuat musik, yang melawan arus pasar, berdasarkan pertimbangan setelah mengamati kawan-kawannya sendiri, sesama pemusik Batak (segenerasi). Menurut hematnya, banyak dari kawan-kawanya itu yang sudah memproduksi lebih dari satu album rekaman, namun hidupnya tetap prihatin dan tidak dikenal orang. Karena album-album tersebut kurang diminati orang banyak, terutama anak-anak muda, yang lebih dulu berkenalan dan mengkonsumsi musik-musik dari Barat.
Tongam sendiri mengakui, sejak SMP sudah mendengar “Pink Floyd”, bahkan sudah menyanyikan “Wish you where here”, yang dikenalnya dari turis-turis asing, yang kebetulan menginap di rumahnya, di kota wisata Parapat. Kala itu turis asing cukup banyak yang datang berkunjung ke Danau Toba.
Dalam suasan demikian itu-lah Tongam kecil mulai berkenalan secara alamiah, dengan Bahasa Inggris, serta musik yang sering dibawa turis-turis bule itu. Baik melalui kaset maupun sambil gitaran, di lapo orang tuanya Tuan Bos Sirait yang juga sering disinggahi para turis.
Pada tahun 1990 Tongam berangkat ke Bali mencoba keberuntungannya sebagai artis penyanyi Batak, yang bermain musik dari cafe ke cafe hingga Hotel. Sebagaimana lazim kita temukan, kalau kita berkunjung ke Bali, kita juga akan menjumpai banyak anak anak muda Batak yang mencari makan seperti Tongam pada tahun 90-an di Bali.
Bali ketika itu memang sedang booming turis. Hal ini juga menjadi perhatian Tongam, yang berujung tanya, bagaimana dan apa rupanya yang dilakukan orang Bali? Sehingga ketika tak ada lagi turis yang datang ke Danau Toba, Bali malah kebanjiran turis asing. Tongam sendiri ingin menyaksikan dan mempelajari sendiri fenomena tersebut, agar bisa di terapkan di kampung halamannya, bagaimana cara memikat turis kembali ke Danau Toba, yang lagi sepi pengunjung.
Untuk mengatasi hidup di Bali, Tongam juga pernah menjadi anak pantai, menyewakan Board Surf (papan selancar) dan lain-lain. Namun pada masa ini juga, Tongam banyak bersentuhan pada dunia musik yang lebih luas, untuk memperkaya apresiasi serta wawasannya dalam menyerap musik dari belahan dunia lain. Hal ini justru menumbuhkan kecintaannya, terhadap instrumen musik tradisional Batak seperti, Sarune bolon, Hasapi, juga Taganing dan Ogung.
Tongam sangat senang, ketika intrumen-instrumen musik tradisional tersebut juga hadir dan muncul pada Album pertamanya, artinya instrumen tradisi tersebut, tidak hanya menjadi pengiring saja bagi instrumen elektrik yang juga asing itu seperti bass, gitar, keyboard, biola dan drum. Akan tetapi juga kental tradisinya, jika harus dibunyikan pada waktu yang bersamaan dengan instrumen Barat itu tadi.
Pada mulanya memang orang-orang pada kaget waktu pertama kali mendengar Album perdana tersebut, namun lambat laun, seperti ada celah/ruang bagi pendengarnya, untuk mendapatkan benang merah, antara musik dan lagu yaitu penggunaan lirik yang lebih segar, bila kita bandingkan dengan lagu-lagu, yang umumnya kita temukan dalam produksi musik pop Batak.
Lagu ciptaan Lae kita Tongam Sirait ini, memang punya ciri khas yang berbeda. Berbeda karena dia punya motivasi yang kuat, melawan arus pasar, agar tidak mengalami nasib yang sama dengan kebanyakan teman-temannya seprofesi. Yaitu miskin dan tak dikenal orang. Tongam menginginkan perubahan. Dia mencipta dengan sepenuh hati, agar setiap lagu yang dikarangnya selalu mempunyai pesan bijak bagi pendengarnya.
”Mengkel nama ahu”{aku hanya bisa tersenyum} adalah sebuah lagu yang sempurna, untuk menggambarkan kedalaman bathin Tongam. Memang ada kalanya kita tak perlu-meratapi kenyataan hidup ini, kita hanya bisa tersenyum getir, dan mentertawakan diri sendiri. Mari kita simak cuplikan lirik lagu dari “Mengkel nama ahu” itu.
Mengkel Nama Ahu:
Meskipun demikian, Tongam pun bisa juga bikin lagu tentang cinta dan perpisahan, seperti lagu “Ingotma”(ingatlah) dan “Sugari”(andaikan). Tetapi kedua lagu ini, sungguh dewasa dan tidak mendayu-dayu. Alias tidak cengeng.
Hal ini bisa saja terjadi karena aransemen atau lirik lagunya, yang memang cocok dengan selera dan semangat sang penata musik.
Viky Sianipar bersama Tongam Sirait |
Sehingga tidak begitu sulit bagi Viky, untuk menemukan format musik yang pas, untuk karakter seorang Tongam Sirait, yang tumbuh secara alamiah dan juga sarat pengalaman.
Sebagai pribadi yang unik.
Tongam menguasai sastra Batak dengan baik, menulis Come To Lake Toba dalam Inggris serta menyisipkan Bahasa Indonesia pada Beta hita.
Dia adalah seorang Vokalis yang menciptakan lirik dan lagu.
Mari kita simak lirik lagu dari “Taringot Ahu” yang menggambarkan kenangan indah akan teman sebaya ketika di kampung halaman dulu.
Taringot Ahu:
Intro lagu “Taringot ahu” dibuka dengan Gitar string G sharp (bening) dan pad layer diatas Vokal, sangat sederhana, namun dalam hingga membuat kesan jauh. Pada bait ke 3, drum/bass fade in dalam pola chord G D Em C, mulai dari bait Taringot ahu uju tinggal di huta.
Gitar elektrik membuat blok chord yang tebal namun, sampai pada reff kedua berganti tonalitas ke A D C distortion gitar merubah suasana, menjadi lebih rock’in dan dalam interlude, lead gitar Viky pun akhirnya menyeruak hadir dengan manis, mengingatkan kita akan kenangan lampau, yang ditimbulkan oleh efek suara gitar tadi.
Lagu lain yang membawa pesan untuk menyatukan hati ini, liriknya berisi ajakan untuk setiap orang Batak, dimanapun dia berada agar turut serta untuk membenahi kampung halaman, adalah “Tapature”.
Tapature:
Lagu ini, secara utuh diringi oleh instrumen piano yang dimainkan Viky Sianipar dengan baik, namun pada coda {penutup}seruling Korem Sihombing justru menegaskan kesedihan bermotif Hindustan yang dalam.
Sebagai sebuah Lagu yang menghimbau orang Batak di santero bumi ini, untuk membenahi kampung halaman. Maka tidak mengherankan dan sah saja apabila ada orang yang menyimpulkan, bahwa lagu ini sebagai Anthem yang terselubung.
Intro piano dimulai dengan motif yang terinspirasi oleh Simphony no 9 karya Bethoveen.
Kalau Simphoni no 9 dimainkan dengan full orchestra, namun dalam “Tapature” thema hanya dimainkan oleh piano yang berpindah oktaf dan tonalitas. Bait pertama dimainkan dalam chord Mayor, namun sampai Sugarima nian hita marsada berubah menjadi minor
Kemudian pada Oh ale bangso Batak di luat portibion chord kembali dalam Mayor, menjadi sangat dramatik dan efektif, sebagai penyelaras teks/ lirik, yang mengajak orang batak untuk menyatukan hati, membangun Budaya dan Tanah Batak.
Membangun keluarga dan berkarya
Tongam Sirait menikah dengan boru Pasaribu pada tahun 2001, pada saat-saat akhir hidup ibundanya yang sedang kritis, oleh karena perkawinan tersebut ibunda Tongam wafat Saur Matua {berumur panjang dan anak-anaknya sudah berkeluaraga semua}status yang tinggi dalam strata adat Batak. Sekarang dia sudah dikarunia 4 orang anak, masing-masing :
Rap Uli 6 tahun, Imanuel 41/2 tahun, Inri 3 tahun dan Raja 1 tahun. Lae Tongam Sirait ini, sangat mencintai keluarganya dan kecintaanya tersebut dituangkannya dalam lagu “Mauliate” yang menggambarkan, rasa terima kasihnya kepada Tuhan {Debata} karena telah maranak marboru marhasohotan {mempunyai anak laki-laki & perempuan ber-keturunnan}sebagaimana falsafah suku Batak yang menganggap anak adalah harta, dan itu sudah dimilikinya.
Namun Tongam masih gelisah memikirkan album ke 2-nya. Dia akan menulis lagu untuk menghormati Sisingamangaraja.
Baginya Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati Pahlawannya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Sisingamangaraja XII adalah pahlawan Nasional yang diterima semua sub etnik (puak) Batak.
Melalui telpon selulernya ia berpesan kepada Bangso Batak dimanapun mereka berada, mulai dari sekarang, memulai sesuatu dari hal yang kecil, agar menghasilkan kebersamaan ujarnya menutup pembicaraan.
Itulah Tulisan Ringan dari Becak Siantar mengenai Mengenal Sosok "TONGAM SIRAIT". Tulisan bersumber dari : Blog dolokpaung dengan Judul Asli : "TONGAM SIRAIT". Semoga bermanfaat yah. Tuhan Memberkati. Becak Siantar.
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.