Yuk Menjelajahi Jejak Peradaban Batak di Batu Kursi [Objek Wisata Budaya Raja Siallagan]
BECAK SIANTAR - Yuk Menjelajahi Jejak Peradaban Batak di Batu Kursi [Objek Wisata Budaya Batu Kursi Raja Siallagan]. Sebuah Catatan Wisata dari saudara Yswitopr (kompasiana.com).
Menginjakkan kaki di tanah Sumatra membawa ingatan saya pada budaya Batak. Teringat budaya Batak, saya membayangkan pulau Samosir dan danau Tobanya. Sebuah impian bisa menginjakkan kaki di sana. Dan ketika impian itu menjadi kenyataan, betapa membahagiakannya. Mimpi itu menjadi nyata ketika saya sampai di kota Parapat. Inilah salah satu pintu masuk menuju ke pulau Samosir yang memiliki luas 2069,05 km2. Di Parapat ini, hawa dingin cukup menusuk tulang. Danau Toba seluas 624,80 km2 terlihat indah. Keduanya terbentuk karena letusan Gunung Toba ribuan tahun silam.
Saya datang terlambat sampai ke kota Parapat. Kapal ferry yang akan membawa sampai ke Ambarita telah berangkat pukul 11.30. Kapal berikutnya berangkat pukul 14.30. Untuk menghabiskan waktu, saya berkeliling melihat-lihat situasi pelabuhan kecil ini. Dari pelabuhan ini, kita bisa sampai ke pulau Samosir melalui Ambarita, Tomok, Tuk Tuk, atau Onan Runggu.
Melihat pelabuhan kecil yang strategis ini menimbulkan rasa miris. Tampaknya kesadaran masyarakat belumlah memadai mengingat pentingnya kota ini untuk mengakses pulau Samosir. Kota terlihat kumuh dengan bau amis yang cukup menyengat. Sampah banyak bertebaran menandakan kesadaran masyarakat untuk membuang sampah masih kurang. Akses jalan pun terlihat banyak berlubang dan air tampak menggenang. Alangkah indahnya ketika kota ini tertata. Tentu akan menjadi daya tarik tersendiri.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kapal ferry pun berangkat membawa penumpang menuju Ambarita. Saya melanjutkan perjalanan menuju ke kompleks Batu Parsidangan, salah satu situs yang ada di pulau Samosir.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 km dari Ambarita, kecamatan Simanindo, sampailah saya ke Huta Silangan. Di sinilah terletak Batu Kursi atau Batu Parsidangan Siallagan dan Batu Parhapuran atau batu pemancungan. Lokasinya tidak berada di tepi jalan utama, namun sedikit masuk. Ada papan petunjuknya. Sesampai di areal parkir yang cukup kecil, saya disambut oleh tembok batu setinggi kurang lebih 1,5 meter. Di salah satu bagiannya terdapat gerbang masuk. Sebuah ukiran kayu bertuliskan Huta Siallagan terlihat gagah di atas tembok batu. Tulisan berwarna putih dengan latar belakang hitam dan ornamen ukiran berwarna putih dan merah terlihat cantik.
Setelah masuk melalui pintu gapura masuk itu, saya disambut dengan halaman tanah yang luas. Rumah adat Batak terlihat berderet. Di tengah halaman terdapat sebuah pohon besar yang menghijau. Inilah yang disebut pohon kebenaran. Di bawah pohon inilah terdapat tatanan kursi dari batu yang melingkar. Di tempat inilah, Raja Siallagan mengadili para penjahat. Keputusan pengadilan yang diambil raja disumpahkan ke pohon kebenaran yang menaungi kursi parsidangan. Konon, berbagai tanda akan diberikan oleh pohon ini. Bisa berupa dahan yang patah, daun yang berguguran, atau ada bagian dahan yang mati.Inilah tanda-tanda alam yang kadang susah dimengerti dengan nalar manusia.
Tepat di sebelah Batu Parsidangan ini, terdapat sebuah rumah Batak. Bagian bawah rumah ini sedikit berbeda dari bentuk rumah adat lainnya. Terdapat ruang cukup luas yang dikelilingi balok-balok kayu. Bagian bawah rumah ini menjadi tempat pemasungan. Sementara di sisi kanan, ada tangga naik. Terdapat sebuah rumah adat Batak lainnya. Di tempat ini, kita bisa menjumpai sebuah replika Sigale Gale. Aslinya, Sigale Gale adalah sebuah patung seorang manusia yang terbuat dari kayu. Merupakan peninggalan Raja Manggale. Patung Sigale Gale bisa digerakkan untuk menari. Kisah Sigale Gale terlalu panjang jika diceritakan di sini. Semoga di lain kesempatan saya bisa menuliskannya.
Berjalan lurus kita akan melewati lorong kecil seperti pintu masuk. Di sini kita akan dibawa pada sebuah situs lainnya, yaitu Batu Parhapuran atau batu tempat pemancungan. Di tengah lokasi terdapat sebuah batu menyerupai meja dengan 4 kaki penyangga. Kini, di atas meja ini diletakkan beberapa benda seperti tongkat, pisau besar, dan kain. Diduga, itulah peralatan yang digunakan untuk melakukan prosesi pemancungan atau pemenggalan. Di sekeliling meja batu terdapat beberapa kursi batu. Di bagian luarnya, terdapat kursi panjang dari kayu dengan atap seng. Rupanya, situs ini dahulu digunakan untuk memenggal kepala. Sayangnya, saya tidak mendapatkan informasi memadai mengenai keberadaan kursi-kursi panjang ini. Apakah kursi-kursi panjang yang menyrepui kursi stadion ini sudah ada sejak lama atau ditambahkan kemudian untuk kepentingan pariwisata saja.
Di samping situs ini, terdapat rumah panjang. Rumah panjang ini menjadi tempat beberapa penjual menjajakan aneka souvenir bagi para pengunjung. Berbagai souvenir khas budaya Batak tersedia di tempat ini. Bahkan, ada juga yang dibuat di tempat seperti patung atau yang lainnya. Anda yang datang bisa berbelanja di tempat ini. Tentu, harus sungguh berhati-hati supaya tidak salah membeli barang asli tapi palsu.
Setelah puas menikmati keindahan peninggalan yang menggambarkan salah satu peradaban budaya Batak ini, saya pun melanjutkan perjalanan mengelilingi sebagian pulau Samosir sisi Utara hingga sampai ke Pangururan. Sebuah perjalanan yang mengasyikkan. Tapak-tapak peradaban menjadi sebuah warisan yang bernilai tinggi. Tinggal kita, beranikah kita menjaga warisan budaya yang teramat luhur itu dan mewariskannya kepada anak cucu kita? [Yswitopr /kompasiana.com/BS]
Sumber: Kompasiana.com
Yswitopr (kompasiana.com)
Pintu Gerbang Kursi Batu
|
Menginjakkan kaki di tanah Sumatra membawa ingatan saya pada budaya Batak. Teringat budaya Batak, saya membayangkan pulau Samosir dan danau Tobanya. Sebuah impian bisa menginjakkan kaki di sana. Dan ketika impian itu menjadi kenyataan, betapa membahagiakannya. Mimpi itu menjadi nyata ketika saya sampai di kota Parapat. Inilah salah satu pintu masuk menuju ke pulau Samosir yang memiliki luas 2069,05 km2. Di Parapat ini, hawa dingin cukup menusuk tulang. Danau Toba seluas 624,80 km2 terlihat indah. Keduanya terbentuk karena letusan Gunung Toba ribuan tahun silam.
Yswitopr (kompasiana.com)
Speed Boat Tampak melintas membelah Danau Toba
|
Saya datang terlambat sampai ke kota Parapat. Kapal ferry yang akan membawa sampai ke Ambarita telah berangkat pukul 11.30. Kapal berikutnya berangkat pukul 14.30. Untuk menghabiskan waktu, saya berkeliling melihat-lihat situasi pelabuhan kecil ini. Dari pelabuhan ini, kita bisa sampai ke pulau Samosir melalui Ambarita, Tomok, Tuk Tuk, atau Onan Runggu.
Yswitopr (kompasiana.com)
Pemandangan salah satu sudut pelabuhan di Kota Parapat
|
Melihat pelabuhan kecil yang strategis ini menimbulkan rasa miris. Tampaknya kesadaran masyarakat belumlah memadai mengingat pentingnya kota ini untuk mengakses pulau Samosir. Kota terlihat kumuh dengan bau amis yang cukup menyengat. Sampah banyak bertebaran menandakan kesadaran masyarakat untuk membuang sampah masih kurang. Akses jalan pun terlihat banyak berlubang dan air tampak menggenang. Alangkah indahnya ketika kota ini tertata. Tentu akan menjadi daya tarik tersendiri.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya kapal ferry pun berangkat membawa penumpang menuju Ambarita. Saya melanjutkan perjalanan menuju ke kompleks Batu Parsidangan, salah satu situs yang ada di pulau Samosir.
Yswitopr (kompasiana.com)
Batu Persidangan, Pohon Kebenaran, dan Rumah Adat
|
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1 km dari Ambarita, kecamatan Simanindo, sampailah saya ke Huta Silangan. Di sinilah terletak Batu Kursi atau Batu Parsidangan Siallagan dan Batu Parhapuran atau batu pemancungan. Lokasinya tidak berada di tepi jalan utama, namun sedikit masuk. Ada papan petunjuknya. Sesampai di areal parkir yang cukup kecil, saya disambut oleh tembok batu setinggi kurang lebih 1,5 meter. Di salah satu bagiannya terdapat gerbang masuk. Sebuah ukiran kayu bertuliskan Huta Siallagan terlihat gagah di atas tembok batu. Tulisan berwarna putih dengan latar belakang hitam dan ornamen ukiran berwarna putih dan merah terlihat cantik.
Setelah masuk melalui pintu gapura masuk itu, saya disambut dengan halaman tanah yang luas. Rumah adat Batak terlihat berderet. Di tengah halaman terdapat sebuah pohon besar yang menghijau. Inilah yang disebut pohon kebenaran. Di bawah pohon inilah terdapat tatanan kursi dari batu yang melingkar. Di tempat inilah, Raja Siallagan mengadili para penjahat. Keputusan pengadilan yang diambil raja disumpahkan ke pohon kebenaran yang menaungi kursi parsidangan. Konon, berbagai tanda akan diberikan oleh pohon ini. Bisa berupa dahan yang patah, daun yang berguguran, atau ada bagian dahan yang mati.Inilah tanda-tanda alam yang kadang susah dimengerti dengan nalar manusia.
Yswitopr (kompasiana.com)
Sigale-gale di Depan Rumah Adat Batak
|
Tepat di sebelah Batu Parsidangan ini, terdapat sebuah rumah Batak. Bagian bawah rumah ini sedikit berbeda dari bentuk rumah adat lainnya. Terdapat ruang cukup luas yang dikelilingi balok-balok kayu. Bagian bawah rumah ini menjadi tempat pemasungan. Sementara di sisi kanan, ada tangga naik. Terdapat sebuah rumah adat Batak lainnya. Di tempat ini, kita bisa menjumpai sebuah replika Sigale Gale. Aslinya, Sigale Gale adalah sebuah patung seorang manusia yang terbuat dari kayu. Merupakan peninggalan Raja Manggale. Patung Sigale Gale bisa digerakkan untuk menari. Kisah Sigale Gale terlalu panjang jika diceritakan di sini. Semoga di lain kesempatan saya bisa menuliskannya.
Yswitopr (kompasiana.com)
Batu Parsidangan
|
Berjalan lurus kita akan melewati lorong kecil seperti pintu masuk. Di sini kita akan dibawa pada sebuah situs lainnya, yaitu Batu Parhapuran atau batu tempat pemancungan. Di tengah lokasi terdapat sebuah batu menyerupai meja dengan 4 kaki penyangga. Kini, di atas meja ini diletakkan beberapa benda seperti tongkat, pisau besar, dan kain. Diduga, itulah peralatan yang digunakan untuk melakukan prosesi pemancungan atau pemenggalan. Di sekeliling meja batu terdapat beberapa kursi batu. Di bagian luarnya, terdapat kursi panjang dari kayu dengan atap seng. Rupanya, situs ini dahulu digunakan untuk memenggal kepala. Sayangnya, saya tidak mendapatkan informasi memadai mengenai keberadaan kursi-kursi panjang ini. Apakah kursi-kursi panjang yang menyrepui kursi stadion ini sudah ada sejak lama atau ditambahkan kemudian untuk kepentingan pariwisata saja.
Yswitopr (kompasiana.com)
Salah seorang pengrajin mengerjakan karyanya di kursi panjang dekat Kursi Pemancungan
|
Yswitopr (kompasiana.com)
Tempat Pemasungan
|
Setelah puas menikmati keindahan peninggalan yang menggambarkan salah satu peradaban budaya Batak ini, saya pun melanjutkan perjalanan mengelilingi sebagian pulau Samosir sisi Utara hingga sampai ke Pangururan. Sebuah perjalanan yang mengasyikkan. Tapak-tapak peradaban menjadi sebuah warisan yang bernilai tinggi. Tinggal kita, beranikah kita menjaga warisan budaya yang teramat luhur itu dan mewariskannya kepada anak cucu kita? [Yswitopr /kompasiana.com/BS]
Sumber: Kompasiana.com
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.