Inilah 6 Keanehan Jelang Pilkada DKI
BECAKSIANTAR.COM - Banyak anomali jelang Pilkada DKI Jakarta untuk tidak menyebutnya sebagai keanehan. Bukan klenik, perdukunan, atau mistis.
Keanehan di sini tidak lain anomali itu tadi, baik anomali para pelakon yang menunjukkan minat kuat menjadi Gubernur DKI Jakarta, atau anomali atas peristiwa Pilkada itu sendiri
Sudah menjadi pengetahuan umum, pemilihan kepala daerah yang biasa disebut Pilkada, merupakan ajang demokrasi tingkat daerah untuk memilih gubernur atau bupati/walikota. Sama seperti Pilpres, Pilkada berlangsung lima tahunan.
Pilkada DKI Jakarta yang menempatkan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur dan wakilnya terjadi tahun 2012 lalu. Tahun 2017 nanti, Pilkada DKI Jakarta kembali digelar.
Joko Widodo atau Jokowi tidak merampungkan masa bakti lima tahunnya sebagai gubernur karena keburu diminta PDIP menjadi calon presiden pada Pilpres 2014. Jokowi kemudian terpilih sebagai Presiden RI mengalahkan pasangan kuat Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam sebuah Pilpres yang mengharu-biru, meninggalkan luka mendalam bagi sebagian yang kecewa.
Naiknya mantan walikota Solo menjadi Presiden RI, di mana sebagian orang menyebut jabatan gubernurnya sekadar “batu loncatan”, membuat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok otomatis menjadi Gubernur DKI. Belakangan Ahok memilih Djarot Saiful Hidayat dari PDIP sebagai wakilnya. Lalu di mana gerangan keanehannya?
Keanehan pertama tentu saja terkait perilaku gubernur petahana, Basuki alias Ahok, yang seperti tanpa pikir panjang mau mengikuti keinginan Teman Ahok untuk maju sebagai calon perseorangan di saat beberapa partai politik justru menunjukkan minat untuk mengusungnya, bahkan tanpa syarat. Partai besar PDIP juga menunjukkan minatnya meski tidak secara terang-terangan.
Anggukan Ahok kepada Teman Ahok ini serta-merta membuat polarisasi dan pemisahan tegas, mendikotomikan peran partai politik dengan relawan yang belum tercantum dalam kamus politik. Sebagai relawan, Teman Ahok berupaya mengumpulkan syarat minimal 525.000 fotokopi KTP dukungan.
Bisa dibaca kemudian, bersedianya Ahok mengikuti kemauan relawan menjadi pertaruhan bagi nama besar partai politik yang terbebani harus memenangkan Pilkada. Bayangkan, mesin partai akan berhadapan dengan relawan di Pilkada DKI nanti yang kemudian menempatkan Ahok di pusaran anomali itu. Adalah aib besar jika partai politik sebagai mesin utama kekuasaan dikalahkan oleh relawan!
Keanehan kedua, tidak lain nekatnya Ahok meninggalkan partai politik yang bersedia mendukungnya. Ahok justru maju dari jalur perseorangan. Di sisi lain, ada bakal calon lainnya yang merupakan ketua umum partai politik malah meninggalkan jalur perseorangan untuk melamar ke partai-partai lain sebagai bakal calon gubernur dan... belum tentu diterima.
Bagaimana tidak diterima wong bagi partai politik lebih baik mendorong kader partainya sendiri daripada mengusung kader dari partai lain, bukan? Logika yang sangat sederhana dan tidak perlu analisis berbelit-belit.
Keanehan ketiga, baru kali inilah para bakal calon gubernur DKI Jakarta yang pernah muncul, setidak-tidaknya diramaikan media massa, bukan fokus bicara program terbaik apa yang ditawarkan untuk kebaikan Kota Jakarta, tetapi bersatu-padu merapatkan barisan menyatukan kekuatan untuk melawan Ahok.
Upaya main keroyok dengan menggalang kekuatan partai politik inilah yang sebenarnya mengesankan Ahok sebagai calon tangguh, kuat dan sulit dikalahkan. Padahal, belum tentu juga. Main keroyok tak ubahnya tawuran anak-anak SMA yang justru mengesankan ketidakberanian melawan Ahok sendirian alias “head to head”.
Keanehan keempat, kalau itu mau disebut sebagai sebuah keanehan, adalah sikap seorang pemimpin organisasi massa Islam yang jauh-jauh hari tidak mengakui Ahok sebagai gubernur DKI. Sikap menihilkan Ahok ini ditunjukkan dengan cara mengangkat “Gubernur DKI” versinya sendiri. Sebutlah gubernur tandingan.
Anehnya, dalam orasi-orasi di depan Gedung KPK atau tempat lain, sang pemimpin organisasi itu berkali-kali meminta Ahok turun sebagai Gubernur DKI. Lha, bukannya menurut versinya itu Ahok sudah bukan gubernur DKI dan sudah memilih gubernur versinya sendiri?
Tetapi, mengapa masih mengakui Ahok sebagai gubernur dan masih harus diturunkan pula? “Gubernur tandingan”-nya dikemanakan?
Keanehan kelima lagi-lagi bersumber dari Ahok sendiri yang memilih tidak populer di mata warga Jakarta dengan terus melakukan penggusuran warga yang konon menduduki lahan negara. Lahan yang diklaim pemerintah sebagai bukan hak warga.
Bukankah penggusuran yang sering dicap tidak manusiawi itu tindakan “bunuh diri” dalam konteks Pilkada apalagi Ahok tidak didukung partai politik dan hanya mengandalkan kekuatan relawan?
Bukan saja bisa menurunkan popularitas, penggusuran bisa menurunkan elektabilitas Ahok yang sampai saat ini masih tinggi meski isu sensitif itu segera digoreng lawan-lawan politiknya, bahkan untuk senjata pamungkas dalam debat calon gubernur nanti.
Uniknya lagi, kalau tidak mau dikatakan anehnya lagi, bakal calon gubernur lainnya di sisi lain menjadikan lahan penggusuran yang dilakukan Ahok sebagai panggung untuk meraih simpatik, yakni dengan pasang badan sebagai pembela warga yang terkena penggusuran. Sangat kontras, bukan?
Satu menggusur pemukiman rakyat dan karenanya terkesan tidak berprikemanusiaan, satunya lagi justru tampil sebagai pembela kemanusiaan. “Demon” versus “Angel”. Ketika kedua hal yang saling bertentangan diametral diletakkan dalam konteks Pilkada DKI kelak, mestinya simpati pemilih berpaling pada si pembela daripada si penggusur.
Apakah Ahok demikian polosnya sehingga luput mempertimbangkan hal-hal strategis yang bisa menggerus popularitas maupun elektabilitasnya? Atau dia bersikap “nothing to lose”.
Tidak mungkin juga, sebab bukankah dia memilih jalur perseorangan dengan mengandalkan relawan itu juga merupakan strategi sekaligus ambisi untuk mempertahankan kekuasaannya?
Keanehan keenam, sedemikian riuh-rendahnya para bakal calon pada mulanya di saat Ahok menyatakan niatnya untuk bertarung kembali, namun belakangan sunyi suara dan rontok satu persatu jauh sebelum Pilkada dimulai. Rontok karena berbagai alasan.
Musisi dan seorang mantan menteri tidak terdengar lagi ketika belum ada satu partai pun yang menunjukkan minat mengusungnya. Satu calon lainnya yang juga punya relawan patah hati karena partai induknya malah mendukung calon lain dari partai lain. Tragis.
Bakal calon lainnya, seorang pengusaha muda, masih harus menunggu konvensi partainya untuk menentukan hanya satu calon yang maju. Calon lain berjuluk “wanita emas” masih percaya diri dengan program “akan”-nya dan berharap ada partai politik sudi meminangnya. Sejauh ini partai belum bersedia meliriknya, setidak-tidaknya memberi lampu hijau.
Seorang sejarawan dan pakar perkotaan sudah tidak terdengar suaranya lagi. Bakal calon lainnya dari Tanah Abang memilih membersihkan masjid untuk meraih simpatik. Sedang dua walikota tetangga sudah sedari awal menyatakan mundur, demikian juga seorang gubernur dari Jawa bagian tengah.
Satu bakal calon lainnya yang ingin memberlakukan syariat untuk Kota Jakarta jika terpilih malah bernasib tragis, dicokok lembaga anti rasuah dalam sebuah operasi tangkap tangan yang tidak bisa dielakkan. Habislah harapan dan “cita-cita mulianya”.
Melihat konstelasi politik yang aneh (weird) jelang Pilkada DKI Jakarta di mana satu calon dikeroyok habis-habisan dari berbagai sisi oleh para calon lainnya, mungkin keanehan ketujuh harus segera dimasukkan jika Ahok yang malah terpilih nanti. Atau Anda menemukan keanehan lainnya dari sekadar enam keanehan yang saya temukan.
Oleh: Pepih Nugraha
Sumber: Kompas.com
Keanehan di sini tidak lain anomali itu tadi, baik anomali para pelakon yang menunjukkan minat kuat menjadi Gubernur DKI Jakarta, atau anomali atas peristiwa Pilkada itu sendiri
Sudah menjadi pengetahuan umum, pemilihan kepala daerah yang biasa disebut Pilkada, merupakan ajang demokrasi tingkat daerah untuk memilih gubernur atau bupati/walikota. Sama seperti Pilpres, Pilkada berlangsung lima tahunan.
Pilkada DKI Jakarta yang menempatkan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur dan wakilnya terjadi tahun 2012 lalu. Tahun 2017 nanti, Pilkada DKI Jakarta kembali digelar.
Joko Widodo atau Jokowi tidak merampungkan masa bakti lima tahunnya sebagai gubernur karena keburu diminta PDIP menjadi calon presiden pada Pilpres 2014. Jokowi kemudian terpilih sebagai Presiden RI mengalahkan pasangan kuat Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam sebuah Pilpres yang mengharu-biru, meninggalkan luka mendalam bagi sebagian yang kecewa.
Naiknya mantan walikota Solo menjadi Presiden RI, di mana sebagian orang menyebut jabatan gubernurnya sekadar “batu loncatan”, membuat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok otomatis menjadi Gubernur DKI. Belakangan Ahok memilih Djarot Saiful Hidayat dari PDIP sebagai wakilnya. Lalu di mana gerangan keanehannya?
Keanehan pertama tentu saja terkait perilaku gubernur petahana, Basuki alias Ahok, yang seperti tanpa pikir panjang mau mengikuti keinginan Teman Ahok untuk maju sebagai calon perseorangan di saat beberapa partai politik justru menunjukkan minat untuk mengusungnya, bahkan tanpa syarat. Partai besar PDIP juga menunjukkan minatnya meski tidak secara terang-terangan.
Anggukan Ahok kepada Teman Ahok ini serta-merta membuat polarisasi dan pemisahan tegas, mendikotomikan peran partai politik dengan relawan yang belum tercantum dalam kamus politik. Sebagai relawan, Teman Ahok berupaya mengumpulkan syarat minimal 525.000 fotokopi KTP dukungan.
Bisa dibaca kemudian, bersedianya Ahok mengikuti kemauan relawan menjadi pertaruhan bagi nama besar partai politik yang terbebani harus memenangkan Pilkada. Bayangkan, mesin partai akan berhadapan dengan relawan di Pilkada DKI nanti yang kemudian menempatkan Ahok di pusaran anomali itu. Adalah aib besar jika partai politik sebagai mesin utama kekuasaan dikalahkan oleh relawan!
Keanehan kedua, tidak lain nekatnya Ahok meninggalkan partai politik yang bersedia mendukungnya. Ahok justru maju dari jalur perseorangan. Di sisi lain, ada bakal calon lainnya yang merupakan ketua umum partai politik malah meninggalkan jalur perseorangan untuk melamar ke partai-partai lain sebagai bakal calon gubernur dan... belum tentu diterima.
Bagaimana tidak diterima wong bagi partai politik lebih baik mendorong kader partainya sendiri daripada mengusung kader dari partai lain, bukan? Logika yang sangat sederhana dan tidak perlu analisis berbelit-belit.
Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat menjawab pertanyaan wartawan, di Balai Kota, Rabu (16/3/2016).
|
Keanehan ketiga, baru kali inilah para bakal calon gubernur DKI Jakarta yang pernah muncul, setidak-tidaknya diramaikan media massa, bukan fokus bicara program terbaik apa yang ditawarkan untuk kebaikan Kota Jakarta, tetapi bersatu-padu merapatkan barisan menyatukan kekuatan untuk melawan Ahok.
Upaya main keroyok dengan menggalang kekuatan partai politik inilah yang sebenarnya mengesankan Ahok sebagai calon tangguh, kuat dan sulit dikalahkan. Padahal, belum tentu juga. Main keroyok tak ubahnya tawuran anak-anak SMA yang justru mengesankan ketidakberanian melawan Ahok sendirian alias “head to head”.
Keanehan keempat, kalau itu mau disebut sebagai sebuah keanehan, adalah sikap seorang pemimpin organisasi massa Islam yang jauh-jauh hari tidak mengakui Ahok sebagai gubernur DKI. Sikap menihilkan Ahok ini ditunjukkan dengan cara mengangkat “Gubernur DKI” versinya sendiri. Sebutlah gubernur tandingan.
Anehnya, dalam orasi-orasi di depan Gedung KPK atau tempat lain, sang pemimpin organisasi itu berkali-kali meminta Ahok turun sebagai Gubernur DKI. Lha, bukannya menurut versinya itu Ahok sudah bukan gubernur DKI dan sudah memilih gubernur versinya sendiri?
Tetapi, mengapa masih mengakui Ahok sebagai gubernur dan masih harus diturunkan pula? “Gubernur tandingan”-nya dikemanakan?
Keanehan kelima lagi-lagi bersumber dari Ahok sendiri yang memilih tidak populer di mata warga Jakarta dengan terus melakukan penggusuran warga yang konon menduduki lahan negara. Lahan yang diklaim pemerintah sebagai bukan hak warga.
Bukankah penggusuran yang sering dicap tidak manusiawi itu tindakan “bunuh diri” dalam konteks Pilkada apalagi Ahok tidak didukung partai politik dan hanya mengandalkan kekuatan relawan?
Kompas.com/David Oliver Purba
Senin (11/4/2016) puluhan pemulung menyerbu sisa bangunan untuk mencari besi dan kayu
|
Bukan saja bisa menurunkan popularitas, penggusuran bisa menurunkan elektabilitas Ahok yang sampai saat ini masih tinggi meski isu sensitif itu segera digoreng lawan-lawan politiknya, bahkan untuk senjata pamungkas dalam debat calon gubernur nanti.
Uniknya lagi, kalau tidak mau dikatakan anehnya lagi, bakal calon gubernur lainnya di sisi lain menjadikan lahan penggusuran yang dilakukan Ahok sebagai panggung untuk meraih simpatik, yakni dengan pasang badan sebagai pembela warga yang terkena penggusuran. Sangat kontras, bukan?
Satu menggusur pemukiman rakyat dan karenanya terkesan tidak berprikemanusiaan, satunya lagi justru tampil sebagai pembela kemanusiaan. “Demon” versus “Angel”. Ketika kedua hal yang saling bertentangan diametral diletakkan dalam konteks Pilkada DKI kelak, mestinya simpati pemilih berpaling pada si pembela daripada si penggusur.
Apakah Ahok demikian polosnya sehingga luput mempertimbangkan hal-hal strategis yang bisa menggerus popularitas maupun elektabilitasnya? Atau dia bersikap “nothing to lose”.
Tidak mungkin juga, sebab bukankah dia memilih jalur perseorangan dengan mengandalkan relawan itu juga merupakan strategi sekaligus ambisi untuk mempertahankan kekuasaannya?
Keanehan keenam, sedemikian riuh-rendahnya para bakal calon pada mulanya di saat Ahok menyatakan niatnya untuk bertarung kembali, namun belakangan sunyi suara dan rontok satu persatu jauh sebelum Pilkada dimulai. Rontok karena berbagai alasan.
Musisi dan seorang mantan menteri tidak terdengar lagi ketika belum ada satu partai pun yang menunjukkan minat mengusungnya. Satu calon lainnya yang juga punya relawan patah hati karena partai induknya malah mendukung calon lain dari partai lain. Tragis.
Bakal calon lainnya, seorang pengusaha muda, masih harus menunggu konvensi partainya untuk menentukan hanya satu calon yang maju. Calon lain berjuluk “wanita emas” masih percaya diri dengan program “akan”-nya dan berharap ada partai politik sudi meminangnya. Sejauh ini partai belum bersedia meliriknya, setidak-tidaknya memberi lampu hijau.
Seorang sejarawan dan pakar perkotaan sudah tidak terdengar suaranya lagi. Bakal calon lainnya dari Tanah Abang memilih membersihkan masjid untuk meraih simpatik. Sedang dua walikota tetangga sudah sedari awal menyatakan mundur, demikian juga seorang gubernur dari Jawa bagian tengah.
Satu bakal calon lainnya yang ingin memberlakukan syariat untuk Kota Jakarta jika terpilih malah bernasib tragis, dicokok lembaga anti rasuah dalam sebuah operasi tangkap tangan yang tidak bisa dielakkan. Habislah harapan dan “cita-cita mulianya”.
Melihat konstelasi politik yang aneh (weird) jelang Pilkada DKI Jakarta di mana satu calon dikeroyok habis-habisan dari berbagai sisi oleh para calon lainnya, mungkin keanehan ketujuh harus segera dimasukkan jika Ahok yang malah terpilih nanti. Atau Anda menemukan keanehan lainnya dari sekadar enam keanehan yang saya temukan.
Oleh: Pepih Nugraha
Sumber: Kompas.com
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.