Header Ads

Semua Tentang Batak - Batak Network

Pemahaman AMPARA dalam Suku Batak

BECAK SIANTAR - Pemahaman AMPARA dalam Suku Batak. Pada kesempatan kali ini, blog ini akan memaparkan tentang "Pemahaman AMPARA dalam Suku Batak". Tulisan ini sudah pernah di publikasikan di sebuah blog yang dikelola oleh saudara kita  St. Sampe Sitorus/br Sitanggang (A. Hitado Managam Sitorus) yang diberi judul "Pemahaman akan sebutan Ampara". Tujuan dari tulisan ini semoga bisa membuka wacana dalam diri kita (khususnya orang batak) dan menambah pengetahuan lebih jauh tentang Suku Batak.

Pemahaman AMPARA dalam Suku Batak
Ulus dan Rumah Adat Batak
Istilah AMPARA mulai populer dan berkembang pesat akhir tahun 80-an hingga saat ini dikalangan orang muda suku batak (halak kita) terutama mereka yang berada di daerah perantauan (di tano parserahan).

Secara umum istilah AMPARA tidak berlaku bagi orang-orang tua (natua-tua) khususnya yang tinggal di Bonapasogit karena pengetahuan dan pemahaman mereka atas TAROMBO (hubungan kekerabatan dari masing-masing). Hal ini disebabkan karena setiap orang di Bonapasogit pasti langsung tahu memanggil apa kepada “Dongan tubunya” (orang yang semarga dengannya).

Belakangan ini muncul istilah Ampara dan Ampiri khususnya didunia maya (Facebook, Twitter, dsb) seolah-olah Ampara untuk Pria, Ampiri untuk Wanita. Banyak diantara kita generasi muda yang belum memahami makna dan hakekat dari kata AMPARA, termasuk penggunaannya dalam hubungan kekerabatan sehari-hari, sehingga tanpa kita sadari sebenarnya seringkali kita keliru mengartikan dan menggunakannya.

Mencoba meluruskan hal tersebut, saya berbagi pemahaman melalui tulisan ini, tentu setelah mengumpulkan informasi termasuk “panuturion sian natua-tua”. Selanjutnya dapat saya paparkan sbb:

Istilah AMPARA (appara) yang dalam kata yang lainnya disebutkan juga dengan SANINA (sa ina-senina) adalah sebutan hubungan kekerabatan dalam masyarakat suku batak antara dua orang yang berasal dari satu leluhur yang sama (biasanya satu marga) dan belum mengetahui secara jelas dan pasti detail dari letak/kedudukan kekerabatannya (tarombo) siapakah yang secara kedudukan adat (parhundul sian partubu) lebih tua (siangkangan) atau lebih muda (sianggian), dan juga masing-masing belum mengetahui secara generasi siapakah menjadi bapak (amang) dan siapa yang menjadi anak (anaha).

Selanjutnya setelah kedua orang tersebut bercerita dan menjelaskan posisi masing-masing menurut garis leluhur (martarombo) sampai ditemukannya kedudukan dan posisi masing-masing, maka secara otomatis penggunaan istilah ampara/appara/sanina/senina tersebut akan gugur dan tak lagi boleh digunakan, dan harus digantikan dengan sebutan menurut garis dan kedudukan yang ada seperti disebut sebelumnya, hahadoli, anggidoli, amanguda, amangtua, anaha, ompung dan lain-lain sesuai adat dan budaya masyarakat batak.

Contoh:
Saya Sampe Sitorus ketika pertama kali berkenalan di Facebook dengan Lesden Sitorus kami bertegur sapa “Horas Ampara”.

Kemudian kami mulai berkenalan satu sama lain, saya memperkenalkan diri Pomparan Sitorus Dori sian Parompuon Raja Mandidang Sitorus dan jika dirunut dari Sitorus, maka saya generasi ke 15 .

Lesden pun mengenalkan dirinya Pomparan Sitorus Dori dari Amborgang. Dari keterangannya tersebut saya langsung tahu bahwa dia Pomparan Raja Naohot( Lumban Nabolon), hal tersebut semakin tegas ketika Lesden katakan dia pomparan Op. Raup.

Merujuk pada tarombo kami sebagaimana kami posting di http://sitorusdori.wordpress.com/tarombo-kami/ maka saya otomatis memanggilnya Hahadoli, seyogyanya jika urutan generasi kami sama maka dia akan memanggilku Anggidoli. Namun demikian karena Lesden “belum bisa” menjelaskan generasi ke berapa. Namun dapat saya perkirakan Lesden setidaknya generasi ke 16 mengingat Pomparan Raja Naohot torop partubu-sopar dibandingkan dengan Pomparan Raja Mandidang. Dengan pertimbangan perbedaan usia akhirnya kami sepakat Lesden memanggil saya bapauda(amanguda) dan saya memanggilnya anaha (level anak).

Contoh lain jika saya berkenalan dengan seorang Sitorus yang langsung memperkenalkan dirinya Sitorus Pane maka kami TIDAK BOLEH menggunakan sebutan Ampara. Otomatis saya memanggilnya Hahadoli dan dia memanggil saya Anggidoli.

Atas dasar contoh diatas, maka dapat kita simpulkan:
  1. Sebutan Ampara HANYA BERLAKU SEMENTARA diawal pertemuan/perkenalan hingga kita martarombo (saling berkenalan menurut silsilah garis keturunan).
  2. Setiap bertemu/berkenalan dengan dongan tubu (semarga) KITA HARUS segera/langsung martarombo agar tahu persis kedudukan masing-masing.
  3. Setelah tahu kedudukan masing-masing maka TIDAK diperkenankan lagi menggunakan sebutan Ampara.
Demikianlah yang dapat saya bagikan mengenai Pemahaman AMPARA dalam Suku Batak, semoga bermamfaat. Bila ada pemahaman lain silahkan ditambahkan. Teriring salam dan doa. [Becak Siantar]

Sumber : Sitorusdori.wordpress.com
loading...

No comments

Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.

Powered by Blogger.