Etos Batak: Raja Sebagai Fraktal Orang Batak
BECAK SIANTAR - Etos Batak: Raja Sebagai Fraktal Orang Batak. Secara kultural etos adalah alasan utama di balik keberhasilan sekelompok orang: mencakup falsafahnya, ideal-idealnya, nilai-nilai, serta prinsip-prinsip yang memandu perjuangan hidup mereka. Secara sosial etos terutama tampil sebagai habitus khusus yang mereka miliki yang menjadi pondasi keberhasilannya. Dalam kaitan ini lazim dibicarakan etos Protestan di Barat dan etos Bushido di Timur.
Sayangnya, etos Batak belum pernah dipelajari orang sebagaimana Max Weber mengkaji doktrin-doktrin Gereja Reformasi (1905) atau Robert Bellah menelaah kebajikan-kebajikan Shogunat Tokugawa (1957) yang masing-masing menjadi sumber nilai ekspresif dan normatif bagi etos Protestan dan Bushido itu.
Jadi, ketika sahabat saya Edward Tigor Siahaan jauh-jauh hari meminta agar INSPIGRAPH: BATAK PORTRAITS[1] ini saya beri penjelasan sosiokultural di bawah tajuk Etos Batak, yaitu tentang bagaimana etos orang-orang Batak yang ditampilkannya dalam buku ini masing-masing mampu secara unik meraih pencapaian yang relatif menonjol dan berkarakter, saya cukup lama berpikir-pikir.
Tetapi setahun kemudian, ketika melihat seratusan foto hasil bidikannya yang berkarakter begitu khas dan beragam sekaligus, lengkap dengan kisah-kisah singkat mereka, pikiran saya langsung menukik ke teori fraktal, yang beberapa dekade belakangan ini luas dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena yang acak (random), nonlinier, nondeterministik, dan kompleks.
Fraktal: Dari Matematika ke Sosiologi
Fraktal, aslinya, adalah sebuah besaran geometris berbentuk kurvatur dimana setiap bagiannya memiliki karakter yang sama pada berbagai dimensinya secara keseluruhan. Sederhananya: fraktal adalah bentuk primordial yang berulang terus menerus (rekursif) menuju tahap dan skala yang lebih besar. Dikatakan berbeda: fraktal adalah kuantitas yang memiliki sifat ‘self-similarity’ yang progresif ke berbagai penjuru dan dimensi.
Fraktal banyak digunakan untuk pemodelan struktur-struktur yang tidak beraturan seperti garis pantai, kontur pegunungan, atau hamparan awan dimana bentuk dasar yang amat mirip selalu berulang secara progresif.
Fraktal juga sering digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena acak seperti arus air deras dalam sungai, pembentukan jaringan syaraf dalam otak manusia, atau pembentukan galaksi di alam semesta kita.
Dengan mengetahui fraktal sebuah fenomena maka yang acak itu tidak lagi membingungkan tetapi justu kelihatan polanya yang sesungguhnya juga teratur. Dengan teknologi fraktal kita bisa menemukan keteraturan dalam keacakan bahkan menciptakan keteraturan dari keacakan.
Fraktal adalah sebuah ranting matematika: geometri fraktal namanya. Fraktal tergolong ilmu yang relatif baru, bekembang pesat sejak pertengahan 1970-an. Pengguna awalnya adalah fisika karena di alam ini gejala acak (random phenomenon) sangat banyak dijumpai seperti perubahan cuaca, peluruhan radioaktif, atau eskalasi gempa bumi. Belakangan, diikuti pula oleh kimia, biologi, dan ekonomi, misalnya dalam analisis harga saham di pasar modal karena pergerakannya yang bersifat acak.
Mestinya, teori fraktal juga dapat dipakai dalam psikologi karena tingkah laku manusia pun banyak yang acak – sembarangan, serampangan, aneh bin lucu – seperti pendekar mabok yang terkenal itu. Untuk menebak fraktal seseorang, temukanlah kata kunci utama yang selalu berulang dipakainya; itulah tema primordial hidupnya. Atau, kenalilah kelakuan khas yang terus berulang ditunjukkannya; itulah pola dasar perilakunya. Sekali Anda menemukannya, maka orang itupun termengerti.
Fraktal juga pasti cocok dipakai dalam sosiologi, karena fenomena sosial pun pada dasarnya bersifat nondeterministik, nonlinier, sarat dengan keacakan, namun memiliki karakter self-similarity. Dalam artian inilah etos Batak hendak coba ditemukan melalui kisah orang-orang Batak yang ditampilkan dalam buku ini: yaitu apakah tema bersama yang berulang pada mereka semua. Temanya memang sama (very similar) tetapi perwujudannya unik pada diri masing-masing yang secara keseluruhan menampilkan keberagaman mereka.
Fraktal Raja dalam Budaya Batak
Menurut pengamatan saya, raja adalah fraktal orang Batak. Konsep raja adalah konsep utama dalam kebudayaan Batak. Ibarat as roda, seluruh hidup orang Batak berputar mengelilingi konsep raja. Dalam struktur sosialnya semua orang Batak adalah raja: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Dalam acara dan upacara adat Batak yang serba trilateral itu, selalu terdengar panggilan, misalnya: Raja Simanjuntak, Raja Sipahutar, Raja Situmorang. Mereka saling menyapa: raja nami atau amanta raja, sambil menyebut diri sendiri sebagai anak ni raja. Kalau bukan anak ni raja, seorang Batak pastilah anak ni hatoban.
Secara umum, raja adalah orang merdeka, yang mempunyai tanah leluhur, kampung primordial dan rumah adat (bona pasogit), di samping punya silsilah resmi (tarombo) yang bisa dirunut hingga ke leluhur perdana orang Batak, yang lazim disebut Siraja Batak.
Secara material seorang raja ditunjukkan dengan kemampuannya sebagai "parbahul-bahul na bolon, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang" yang artinya orang yang berkelimpahan.
Inheren dalam pengertian raja adalah perilaku sosial-interpersonal yang luhur: khususnya bersikap benar dan hormat (somba), bersikap adil dan saksama (manat), serta bersikap persuasif dan berbelas kasih (elek). Dalam ruang sosiokultural Batak, ketiganya adalah perilaku utama yang dapat diterjemahkan menjadi puluhan perilaku luhur lainnya. Sering pula nilai-nilai luhur itu diungkapkan secara simbolik, misalnya: parhatian sibola timbang, parninggala sibola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi.
Seluruh perilaku luhur orang Batak, termasuk ketiga yang utama tadi: somba, manat, elek; sesungguhnya dapat dirangkum dan disublimasi menjadi satu saja: raja! Artinya, setiap orang Batak wajib berperilaku rajani (royal) terhadap hula-hula, dongan tubu, dan boru; termasuk dongan sahuta, bahkan terhadap semua orang. Mencuri pun, kalau terpaksa, orang Batak haruslah bersikap rajani! Istilah aslinya: tangko raja!
Jadi, meskipun dalam sejarahnya Batak tidak pernah berkerajaan seperti monarki Thailand, Inggris, atau Belanda, tetapi orang Batak sangat terobsesi menjadi raja, berperilaku rajani, dan diperlakukan secara diraja: luhur, mulia, penuh kehormatan.
Ketika semangat rajani ini berkolaborasi dengan bakat dan talenta pribadi anak-anak Batak, disertai dengan munculnya kesempatan dan peluang yang exploitable, maka lahirlah daya juang yang visioner: menjadi raja! Dan lewat proses panjang, orang-orang Batak itupun akhirnya menjadi raja asuransi, raja antropologi, atau raja fotografi. Juga tentu: menjadi raja parhata, raja parlapo, atau raja piano. Sebagian dari mereka itulah yang dipilih dan ditampilkan oleh Edward Tigor Siahaan dalam buku ini.
Karena Anda pasti mengenal sebagian raja-raja tersebut, tentulah sekarang lebih asyik membicarakan kiprah mereka. Dalam artian itulah buku ini bisa menjadi inspirasi seperti namanya: INSPIGRAPH.
Ke depan kita tentu membutuhkan lahirnya sejuta raja Batak lainnya: raja tambal ban, raja minyak, raja koran, raja kayu, raja kapal, raja sawit, raja khotbah, raja politik, raja pemborong, raja bondar, raja rengge-rengge, raja panurat, raja panuturi, dan sebagainya dan seterusnya; tidak hanya pada tingkat lokal, tetapi nasional bahkan internasional. Mengapa tidak?
Maka saya mengajak Anda mengucapkan selamat kepada raja fotografi kita: Edward Tigor Siahaan, yang selain memiliki ide orisinil tentang buku ini, juga punya kompetensi yang optima dan stamina yang prima mewujudkannya. Semoga seluas mungkin orang Batak mendapat inspirasi dari buku ini sehingga raja-raja baru dari Batak segera lahir.
Oleh JANSEN H. SINAMO (https://www.facebook.com/notes/majalah-tatap-bacaan-kaum-terdidik-batak/etos-batak-raja-sebagai-fraktal-orang-batak/10150195834915025)
------------------
[1] Buku ini menampilkan seratusan foto orang Batak yang menurut sang fotografer adalah figur-figur yang berhasil dalam masyarakat, mempunyai penampilan fotografis yang berkarakter, berwarna, dan bersosok khas. Buku ini diniatkannya sebagai bagian dari dokumentasi dan selebrasi menyambut 150 tahun Kekristenan mewarnai Tanah Batak (1861-2011).
Ilustrasi |
Jadi, ketika sahabat saya Edward Tigor Siahaan jauh-jauh hari meminta agar INSPIGRAPH: BATAK PORTRAITS[1] ini saya beri penjelasan sosiokultural di bawah tajuk Etos Batak, yaitu tentang bagaimana etos orang-orang Batak yang ditampilkannya dalam buku ini masing-masing mampu secara unik meraih pencapaian yang relatif menonjol dan berkarakter, saya cukup lama berpikir-pikir.
Tetapi setahun kemudian, ketika melihat seratusan foto hasil bidikannya yang berkarakter begitu khas dan beragam sekaligus, lengkap dengan kisah-kisah singkat mereka, pikiran saya langsung menukik ke teori fraktal, yang beberapa dekade belakangan ini luas dipakai untuk menjelaskan berbagai fenomena yang acak (random), nonlinier, nondeterministik, dan kompleks.
Fraktal: Dari Matematika ke Sosiologi
Fraktal, aslinya, adalah sebuah besaran geometris berbentuk kurvatur dimana setiap bagiannya memiliki karakter yang sama pada berbagai dimensinya secara keseluruhan. Sederhananya: fraktal adalah bentuk primordial yang berulang terus menerus (rekursif) menuju tahap dan skala yang lebih besar. Dikatakan berbeda: fraktal adalah kuantitas yang memiliki sifat ‘self-similarity’ yang progresif ke berbagai penjuru dan dimensi.
Fraktal banyak digunakan untuk pemodelan struktur-struktur yang tidak beraturan seperti garis pantai, kontur pegunungan, atau hamparan awan dimana bentuk dasar yang amat mirip selalu berulang secara progresif.
Fraktal juga sering digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena acak seperti arus air deras dalam sungai, pembentukan jaringan syaraf dalam otak manusia, atau pembentukan galaksi di alam semesta kita.
Dengan mengetahui fraktal sebuah fenomena maka yang acak itu tidak lagi membingungkan tetapi justu kelihatan polanya yang sesungguhnya juga teratur. Dengan teknologi fraktal kita bisa menemukan keteraturan dalam keacakan bahkan menciptakan keteraturan dari keacakan.
Fraktal adalah sebuah ranting matematika: geometri fraktal namanya. Fraktal tergolong ilmu yang relatif baru, bekembang pesat sejak pertengahan 1970-an. Pengguna awalnya adalah fisika karena di alam ini gejala acak (random phenomenon) sangat banyak dijumpai seperti perubahan cuaca, peluruhan radioaktif, atau eskalasi gempa bumi. Belakangan, diikuti pula oleh kimia, biologi, dan ekonomi, misalnya dalam analisis harga saham di pasar modal karena pergerakannya yang bersifat acak.
Mestinya, teori fraktal juga dapat dipakai dalam psikologi karena tingkah laku manusia pun banyak yang acak – sembarangan, serampangan, aneh bin lucu – seperti pendekar mabok yang terkenal itu. Untuk menebak fraktal seseorang, temukanlah kata kunci utama yang selalu berulang dipakainya; itulah tema primordial hidupnya. Atau, kenalilah kelakuan khas yang terus berulang ditunjukkannya; itulah pola dasar perilakunya. Sekali Anda menemukannya, maka orang itupun termengerti.
Fraktal juga pasti cocok dipakai dalam sosiologi, karena fenomena sosial pun pada dasarnya bersifat nondeterministik, nonlinier, sarat dengan keacakan, namun memiliki karakter self-similarity. Dalam artian inilah etos Batak hendak coba ditemukan melalui kisah orang-orang Batak yang ditampilkan dalam buku ini: yaitu apakah tema bersama yang berulang pada mereka semua. Temanya memang sama (very similar) tetapi perwujudannya unik pada diri masing-masing yang secara keseluruhan menampilkan keberagaman mereka.
Fraktal Raja dalam Budaya Batak
Menurut pengamatan saya, raja adalah fraktal orang Batak. Konsep raja adalah konsep utama dalam kebudayaan Batak. Ibarat as roda, seluruh hidup orang Batak berputar mengelilingi konsep raja. Dalam struktur sosialnya semua orang Batak adalah raja: hula-hula, dongan tubu, dan boru. Dalam acara dan upacara adat Batak yang serba trilateral itu, selalu terdengar panggilan, misalnya: Raja Simanjuntak, Raja Sipahutar, Raja Situmorang. Mereka saling menyapa: raja nami atau amanta raja, sambil menyebut diri sendiri sebagai anak ni raja. Kalau bukan anak ni raja, seorang Batak pastilah anak ni hatoban.
Secara umum, raja adalah orang merdeka, yang mempunyai tanah leluhur, kampung primordial dan rumah adat (bona pasogit), di samping punya silsilah resmi (tarombo) yang bisa dirunut hingga ke leluhur perdana orang Batak, yang lazim disebut Siraja Batak.
Secara material seorang raja ditunjukkan dengan kemampuannya sebagai "parbahul-bahul na bolon, paramak so balunon, parsangkalan so mahiang" yang artinya orang yang berkelimpahan.
Inheren dalam pengertian raja adalah perilaku sosial-interpersonal yang luhur: khususnya bersikap benar dan hormat (somba), bersikap adil dan saksama (manat), serta bersikap persuasif dan berbelas kasih (elek). Dalam ruang sosiokultural Batak, ketiganya adalah perilaku utama yang dapat diterjemahkan menjadi puluhan perilaku luhur lainnya. Sering pula nilai-nilai luhur itu diungkapkan secara simbolik, misalnya: parhatian sibola timbang, parninggala sibola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi.
Seluruh perilaku luhur orang Batak, termasuk ketiga yang utama tadi: somba, manat, elek; sesungguhnya dapat dirangkum dan disublimasi menjadi satu saja: raja! Artinya, setiap orang Batak wajib berperilaku rajani (royal) terhadap hula-hula, dongan tubu, dan boru; termasuk dongan sahuta, bahkan terhadap semua orang. Mencuri pun, kalau terpaksa, orang Batak haruslah bersikap rajani! Istilah aslinya: tangko raja!
Jadi, meskipun dalam sejarahnya Batak tidak pernah berkerajaan seperti monarki Thailand, Inggris, atau Belanda, tetapi orang Batak sangat terobsesi menjadi raja, berperilaku rajani, dan diperlakukan secara diraja: luhur, mulia, penuh kehormatan.
Ketika semangat rajani ini berkolaborasi dengan bakat dan talenta pribadi anak-anak Batak, disertai dengan munculnya kesempatan dan peluang yang exploitable, maka lahirlah daya juang yang visioner: menjadi raja! Dan lewat proses panjang, orang-orang Batak itupun akhirnya menjadi raja asuransi, raja antropologi, atau raja fotografi. Juga tentu: menjadi raja parhata, raja parlapo, atau raja piano. Sebagian dari mereka itulah yang dipilih dan ditampilkan oleh Edward Tigor Siahaan dalam buku ini.
Karena Anda pasti mengenal sebagian raja-raja tersebut, tentulah sekarang lebih asyik membicarakan kiprah mereka. Dalam artian itulah buku ini bisa menjadi inspirasi seperti namanya: INSPIGRAPH.
Ke depan kita tentu membutuhkan lahirnya sejuta raja Batak lainnya: raja tambal ban, raja minyak, raja koran, raja kayu, raja kapal, raja sawit, raja khotbah, raja politik, raja pemborong, raja bondar, raja rengge-rengge, raja panurat, raja panuturi, dan sebagainya dan seterusnya; tidak hanya pada tingkat lokal, tetapi nasional bahkan internasional. Mengapa tidak?
Maka saya mengajak Anda mengucapkan selamat kepada raja fotografi kita: Edward Tigor Siahaan, yang selain memiliki ide orisinil tentang buku ini, juga punya kompetensi yang optima dan stamina yang prima mewujudkannya. Semoga seluas mungkin orang Batak mendapat inspirasi dari buku ini sehingga raja-raja baru dari Batak segera lahir.
Oleh JANSEN H. SINAMO (https://www.facebook.com/notes/majalah-tatap-bacaan-kaum-terdidik-batak/etos-batak-raja-sebagai-fraktal-orang-batak/10150195834915025)
------------------
[1] Buku ini menampilkan seratusan foto orang Batak yang menurut sang fotografer adalah figur-figur yang berhasil dalam masyarakat, mempunyai penampilan fotografis yang berkarakter, berwarna, dan bersosok khas. Buku ini diniatkannya sebagai bagian dari dokumentasi dan selebrasi menyambut 150 tahun Kekristenan mewarnai Tanah Batak (1861-2011).
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.