Augustin Sibarani Karikaturis Kelahiran Siantar
BECAK SIANTAR - Augustin Sibarani Karikaturis Kelahiran Siantar. Mungkin anda tidak mengenal pria yang satu ini. Tokoh Siantarmen yang asli lahir dari Siantar. Dia lah Agustin Sibarani, pelukis lukisan Sisingamangaraja untuk uang kertas rupiah. Sibarani melukis siapa saja, dari Soeharto sampai Osama bin Laden, dengan pendekatan realis maupun karikatural. Dia seorang karikaturis yang disebut – Benedict ROG Anderson, ahli Indonesia asal Universitas Cornell, Amerika, sebagai yang terbesar di negeri ini.
Sosok tubuhnya gagah, tinggi dan senyumnya mengundang simpati. Meski usianya sudah digerus waktu, geraknya masih terlihat tangkas dan ekspresif, terutama bila ia sedang menceritakan kembali perjalanan romantika perjuangannya. Bukan hanya itu saja, ia terlihat meledak-ledak namun ketika ia sedang berbicara dan mengutarakan gagasan dan ide, gerak tangannya tidak tinggal diam. Seperti orang hendak menari, ia begitu serius mengikuti gejolak bathinnya.
Ia termasuk seniman yang beruntung karena semangatnya yang kokoh. Apalagi ketika ia harus mengekspresikan persoalan politik bangsa, nada suaranya begitu keras dan sukar untuk berhenti. Keberpihakannya terhadap rakyat sangat tinggi, dan jika keadilan yang dirasakannya semakin menjepit, tidak segan-segannya ia memberontak. Biasanya tangannya lantas mencoret-coret di kertas putih dan jadilah sebuah karikatur. Di bawah lukisannya itu, ia membubuhkan nama samarannya, yaitu Srani, singkatan dari namanya sendiri, Agustin Sibarani.
Pria kelahiran Pematang Siantar, Sumut, ini adalah seorang pengagum berat Bung Karno dan yang mendorongnya untuk total menjadi seorang karikaturis pada tahun 1950. Amanah itu dipegangnya hingga sekarang, dan melambungkan namanya di era 50-an hingga awal 70-an. Bapak dari tiga putra yang kesemuanya sarjana itu mahir melukis sejak kecil. Pada usia 10 tahun Sibarani mendapat Bintang Emas dari Assisten Residen Tichelman, karena melukis Pangeran Willem Van Oranje. Malahan ketika di kelas 10 MULO (SMP), nilai untuk pelajaran menggambarnya 10. Nilai jelas menghebohkan dan pemerintah Hindia-Belanda dan kemudian menghadiahinya bea siswa untuk belajar di Akademi Seni Rupa di Belanda. Sayang sekali Perang Dunia II mengoyak kesempatan indah itu, sebab Jerman menduduki wilayah Belanda tahun 1940.
Gelora seni lukis Sibarani diredamnya, ketika ibundanya minta agar dia belajar di MIS (Middelbare Landouw School Sekolah Menengah Pertanian) di Buitenzorg, Bogor. Sang ibu berharap anaknya itu dapat menjadi Ajunct Landbouw Consulent (wakil penyuluh pertanian) di perkebunan milik ayahnya seluas 300 Ha di Pariasan. Bulan April 1945 ia menyelesaikan pendidikannya dan kemudian bekerja di perkebunan Merbuh, sebelah Selatan Semarang. Ia bertemu dengan pelukis dan juga pemahat, Haryadi, di Yogyakarta. Di kota itu ia juga bertemu dengan ibunda Hendra Gunawan, yang kemudian bekerja sama membangun atelir kecil di jalan Malioboro. Augustin Sibarani pernah menjadi karyawan United States Information Service (USIS) di Jakarta sebagai illustrator.
Tahun 1952, ia membuat tiga judul buku ala Walt Disney untuk anak-anak, diterbitkan oleh PT Timun Mas milik Poppy Sjahrir dan Alex Sutantio. Tahun berikutnya ia membuat buku kartun berjudul Senyum Kasih Senyum dan Si Ucok yang diterbitkan oleh penerbitan Belanda, Godfried. Sibarani juga mendapat kesempatan untuk berpameran di Jerman-Barat, Moskow kemudian di Wina tahun 1959. pelukis inilah yang melukis wajah Sisingamangaraja XII pada tahun 1961 berdasarkan riset panjang mengenai sosok pejuang dari Tapanuli ini. Lukisan itu diselesaikannya pada tahun 1962, dan diserahkan kepada pemerintah pada saat diumumkannya pengakuan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
AWAL 1953, Sibarani menerbitkan tiga buku kartun untuk anak-anak, Si Kasmin Pergi ke Kota, Musik si Beber, dan Rumah si Bolang. Buku ini diterbitkan oleh sepasang suami istri sahabatnya, Alex Sutantio dan Lily, putri mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ia membuat gambar-gambar binatang ala Walt Disney, dicetak berwarna di Belanda, dibayar putus seharga Rp 22 ribu. Cukup untuk membuatnya kaya mendadak.
Tak lama setelah itu, ia berkenalan dengan seorang Belanda pemilik toko buku dan sekaligus penerbitan yang kemudian ia biasa panggil sebagai “Tuan Gotfried” saja. Tuan Gotfried mengagumi ketiga bukunya, sebab laku dibeli anak-anak gedongan, dan menawarinya menerbitkan buku baru, dengan konsep yang berbeda agar tak tampak mencaplok ide orang. Buku kumpulan gambar lelucon berikutnya, yang ia kumpulkan dari majalah Aneka, terbit dengan judul Senyum, Kasih, Senyum.
Tapi sepanjang kekuasaan Orde Baru, betapa sulitnya menerbitkan kembali karikatur, yang ringan sekalipun. Terutama karena ia dicurigai sebagai satu dari orang-orang kiri. Dua puluh tahun berlalu sampai ia memperoleh kesempatan tampil bersama karikaturnya. Ketika itu G.M. Sudarta dari harian Kompas mengunjunginya bersama Arwah Setiawan dari Lembaga Humor Indonesia. Ia memperoleh undangan untuk ikut serta dalam pameran besar karikatur di Ancol, Jakarta, dan karikatur-karikatur pun segera disiapkan. Kesempatan itu lenyap saat Harmoko, yang waktu itu menteri penerangan, mengetahui keikutsertaannya. Harmoko, yang pernah jadi kartunis Merdeka, mengancam tak akan membuka pameran jika Sibarani ikut.
Itu pula yang mendorongnya membuat pameran tunggal. G.M. Sudarta menyumbang Rp 100 ribu. Tanpa acara pembukaan dan tanpa undangan. Sudarta menulis ulasannya di Kompas, sedangkan Mochtar Lubis, editor legendaris harian Indonesia Raya, datang memuji-mujinya sebagaimana dulu ia memuji buku Senyum, Kasih, Senyum, tak peduli betapa tak sukanya Sibarani terhadap garis politiknya.
Sibarani harus menunggu tumbangnya kekuasaan Orde Baru untuk bermimpi menerbitkan buku karikatur kembali. Ia menyelundupkan fotokopi karikatur-karikaturnya ke tangan mahasiswa. Pada 1998 sejumlah media Prancis menerbitkan karikatur-karikaturnya, seperti Le Monde Diplomatique, Humanite, dan La Lettrede. Karikaturnya kemudian berkeliaran di internet, terbang ke Amerika Serikat, dan dimuat di jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell.
Fenomenanya mungkin bisa disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkuat Indonesia, yang berhasil muncul kembali ke dunia sastra Indonsia melalui novel-novel barunya. Sibarani berharap bisa berhasil pula saat kembali ke dunia karikatur Indonesia. Tapi paling tidak satu keinginannya sudah gagal. Semula ia ingin memberi judul kumpulan karikaturnya dengan Karikaturku, tapi si editor lebih suka menjualnya dengan judul Karikatur dan Politik.
Karya-karya karikaturnya pada era 50-an hingga awal 70-an tersebar di sejumlah penerbitan dan sering menjadi perbincangan orang. Karena masalah politik, Sibarani tidak bisa mengirimkan karikaturnya ke media massa di dalam negeri waktu itu. Namun demikian, ia terus berkarya dan hasilnya dimuat di sejumlah media luar negeri seperti Le Monde, Reporters Sans Frontiers serta L’Humanite (Perancis), Jurnal Indonesia (Cornell University, USA). Kini dipenghujung hidupnya, ia masih terus menjaga semangat kesenimanannya meski harus mengeluarkan tenaga yang super ekstra. Semua ini dilakukan demi kepuasaan bathin yang ingin dicapainya.
Profil Lengkap Augustin Sibarani
Nama : Augustin Sibarani
Lahir : Pematang Siantar, Sumatera Utara, 20 Agustus 1925
Agama: Kristen
Isteri: Saribar L. Tobing
Ayah: Jozua Sibarani
Ibu: Martha Hasibuan
Pendidikan :
MIS (Middelbare Landouw School/ Sekolah Menengah Pertanian) di Buitenzorg, Bogor (1945)
Penghargaan :
Bintang Emas dari Assisten Residen Tichelman,
Beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda untuk belajar di Akademi Seni Rupa di Belanda
Buku :
Referensi :
1. Augustine Sibarani
2. Orang Batak : Tokoh Tokoh Batak Terbaik
3. Google
Augustin Sibarani |
Ia termasuk seniman yang beruntung karena semangatnya yang kokoh. Apalagi ketika ia harus mengekspresikan persoalan politik bangsa, nada suaranya begitu keras dan sukar untuk berhenti. Keberpihakannya terhadap rakyat sangat tinggi, dan jika keadilan yang dirasakannya semakin menjepit, tidak segan-segannya ia memberontak. Biasanya tangannya lantas mencoret-coret di kertas putih dan jadilah sebuah karikatur. Di bawah lukisannya itu, ia membubuhkan nama samarannya, yaitu Srani, singkatan dari namanya sendiri, Agustin Sibarani.
Pria kelahiran Pematang Siantar, Sumut, ini adalah seorang pengagum berat Bung Karno dan yang mendorongnya untuk total menjadi seorang karikaturis pada tahun 1950. Amanah itu dipegangnya hingga sekarang, dan melambungkan namanya di era 50-an hingga awal 70-an. Bapak dari tiga putra yang kesemuanya sarjana itu mahir melukis sejak kecil. Pada usia 10 tahun Sibarani mendapat Bintang Emas dari Assisten Residen Tichelman, karena melukis Pangeran Willem Van Oranje. Malahan ketika di kelas 10 MULO (SMP), nilai untuk pelajaran menggambarnya 10. Nilai jelas menghebohkan dan pemerintah Hindia-Belanda dan kemudian menghadiahinya bea siswa untuk belajar di Akademi Seni Rupa di Belanda. Sayang sekali Perang Dunia II mengoyak kesempatan indah itu, sebab Jerman menduduki wilayah Belanda tahun 1940.
Gelora seni lukis Sibarani diredamnya, ketika ibundanya minta agar dia belajar di MIS (Middelbare Landouw School Sekolah Menengah Pertanian) di Buitenzorg, Bogor. Sang ibu berharap anaknya itu dapat menjadi Ajunct Landbouw Consulent (wakil penyuluh pertanian) di perkebunan milik ayahnya seluas 300 Ha di Pariasan. Bulan April 1945 ia menyelesaikan pendidikannya dan kemudian bekerja di perkebunan Merbuh, sebelah Selatan Semarang. Ia bertemu dengan pelukis dan juga pemahat, Haryadi, di Yogyakarta. Di kota itu ia juga bertemu dengan ibunda Hendra Gunawan, yang kemudian bekerja sama membangun atelir kecil di jalan Malioboro. Augustin Sibarani pernah menjadi karyawan United States Information Service (USIS) di Jakarta sebagai illustrator.
Tahun 1952, ia membuat tiga judul buku ala Walt Disney untuk anak-anak, diterbitkan oleh PT Timun Mas milik Poppy Sjahrir dan Alex Sutantio. Tahun berikutnya ia membuat buku kartun berjudul Senyum Kasih Senyum dan Si Ucok yang diterbitkan oleh penerbitan Belanda, Godfried. Sibarani juga mendapat kesempatan untuk berpameran di Jerman-Barat, Moskow kemudian di Wina tahun 1959. pelukis inilah yang melukis wajah Sisingamangaraja XII pada tahun 1961 berdasarkan riset panjang mengenai sosok pejuang dari Tapanuli ini. Lukisan itu diselesaikannya pada tahun 1962, dan diserahkan kepada pemerintah pada saat diumumkannya pengakuan Sisingamangaraja XII sebagai pahlawan nasional.
Augustin Sibarani |
Tak lama setelah itu, ia berkenalan dengan seorang Belanda pemilik toko buku dan sekaligus penerbitan yang kemudian ia biasa panggil sebagai “Tuan Gotfried” saja. Tuan Gotfried mengagumi ketiga bukunya, sebab laku dibeli anak-anak gedongan, dan menawarinya menerbitkan buku baru, dengan konsep yang berbeda agar tak tampak mencaplok ide orang. Buku kumpulan gambar lelucon berikutnya, yang ia kumpulkan dari majalah Aneka, terbit dengan judul Senyum, Kasih, Senyum.
Tapi sepanjang kekuasaan Orde Baru, betapa sulitnya menerbitkan kembali karikatur, yang ringan sekalipun. Terutama karena ia dicurigai sebagai satu dari orang-orang kiri. Dua puluh tahun berlalu sampai ia memperoleh kesempatan tampil bersama karikaturnya. Ketika itu G.M. Sudarta dari harian Kompas mengunjunginya bersama Arwah Setiawan dari Lembaga Humor Indonesia. Ia memperoleh undangan untuk ikut serta dalam pameran besar karikatur di Ancol, Jakarta, dan karikatur-karikatur pun segera disiapkan. Kesempatan itu lenyap saat Harmoko, yang waktu itu menteri penerangan, mengetahui keikutsertaannya. Harmoko, yang pernah jadi kartunis Merdeka, mengancam tak akan membuka pameran jika Sibarani ikut.
Itu pula yang mendorongnya membuat pameran tunggal. G.M. Sudarta menyumbang Rp 100 ribu. Tanpa acara pembukaan dan tanpa undangan. Sudarta menulis ulasannya di Kompas, sedangkan Mochtar Lubis, editor legendaris harian Indonesia Raya, datang memuji-mujinya sebagaimana dulu ia memuji buku Senyum, Kasih, Senyum, tak peduli betapa tak sukanya Sibarani terhadap garis politiknya.
Sibarani harus menunggu tumbangnya kekuasaan Orde Baru untuk bermimpi menerbitkan buku karikatur kembali. Ia menyelundupkan fotokopi karikatur-karikaturnya ke tangan mahasiswa. Pada 1998 sejumlah media Prancis menerbitkan karikatur-karikaturnya, seperti Le Monde Diplomatique, Humanite, dan La Lettrede. Karikaturnya kemudian berkeliaran di internet, terbang ke Amerika Serikat, dan dimuat di jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell.
Fenomenanya mungkin bisa disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terkuat Indonesia, yang berhasil muncul kembali ke dunia sastra Indonsia melalui novel-novel barunya. Sibarani berharap bisa berhasil pula saat kembali ke dunia karikatur Indonesia. Tapi paling tidak satu keinginannya sudah gagal. Semula ia ingin memberi judul kumpulan karikaturnya dengan Karikaturku, tapi si editor lebih suka menjualnya dengan judul Karikatur dan Politik.
Karya-karya karikaturnya pada era 50-an hingga awal 70-an tersebar di sejumlah penerbitan dan sering menjadi perbincangan orang. Karena masalah politik, Sibarani tidak bisa mengirimkan karikaturnya ke media massa di dalam negeri waktu itu. Namun demikian, ia terus berkarya dan hasilnya dimuat di sejumlah media luar negeri seperti Le Monde, Reporters Sans Frontiers serta L’Humanite (Perancis), Jurnal Indonesia (Cornell University, USA). Kini dipenghujung hidupnya, ia masih terus menjaga semangat kesenimanannya meski harus mengeluarkan tenaga yang super ekstra. Semua ini dilakukan demi kepuasaan bathin yang ingin dicapainya.
Augustin Sibarani |
Nama : Augustin Sibarani
Lahir : Pematang Siantar, Sumatera Utara, 20 Agustus 1925
Agama: Kristen
Isteri: Saribar L. Tobing
Ayah: Jozua Sibarani
Ibu: Martha Hasibuan
Pendidikan :
MIS (Middelbare Landouw School/ Sekolah Menengah Pertanian) di Buitenzorg, Bogor (1945)
Penghargaan :
Bintang Emas dari Assisten Residen Tichelman,
Beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda untuk belajar di Akademi Seni Rupa di Belanda
Buku :
- Senyum Kasih Senyum dan Si Ucok (1953)
- Si Kasmin Pergi ke Kota
- Musik si Beber
- Rumah si Bolang
Referensi :
1. Augustine Sibarani
2. Orang Batak : Tokoh Tokoh Batak Terbaik
3. Google
loading...
ane gk mungkin kyk dia komen bck y
ReplyDeleteuntuk saaat ini gak mungkin. Tapi seiring dengan waktu dan proses, Sapa tahu mungkin. yg penting tetap berkarya.
Delete