Review Film : Demi Ucok Film Batak Populer 2013
BECAK SIANTAR - Review Film : Demi Ucok Film Batak Populer 2013. Mak Gondut:“Semua di dunia ini ada yang punya, kau saja gak ada yang punya.” Itulah sepenggal dialog yang kita temukan saat menonton Film Demi Ucok. Untuk sementara hanya diputar di Kota Medan Sumut. Sebenarnya tidak ada karakter bernama Ucok di sini, pemilihan judulnya yang menggunakan salah satu nama Batak paling populer di dunia semata-mata hanya menegaskan bahwa ini adalah film tentang Batak dari seorang Batak, oleh seorang Batak dan untuk Indonesia. Jadi jika anda hanya mengenal Batak secara sempit maka Sammaria Simanjuntak akan berbaik hati mengenalkan anda sedikit lebih dalam dari sekedar ungkapan “Horas bah!”, kernet/supir metro mini, kain ulos atau pengacara-pengacara handalnya yang suka bersuara keras di sini.
Review Film : Demi Ucok Film Batak Populer 2013
Nama Sammaria Simanjuntak berhasil mencuat di blantika industri film Indonesia setelah filmnya cin(T)a (2009), yang secara cerdas mengangkat tema penceritaan mengenai hubungan cinta antar pasangan yang berbeda agama, mampu mencuri perhatian banyak pecinta film Indonesia dan bahkan berhasil memenangkan penghargaan Penulis Skenario Cerita Asli Terbaik di ajang Festival Film Indonesia pada tahun tersebut. Lalu apa yang dilakukan Sammaria untuk mengikuti kesuksesan besar tersebut? Empat tahun setelahnya, termasuk setelah beberapa jangka waktu proses pengumpulan dana secara gerilya agar filmnya dapat ditayangkan di layar bioskop nasional, Sammaria akhirnya merilis Demi Ucok, sebuah film drama komedi dengan kisah yang terasa sangat personal plus dengan balutan kebudayaan Batak yang kental.
Demi Ucok berkisah mengenai seorang pembuat film muda bernama Gloria Sinaga (Geraldine Sianturi) yang akrab dipanggil Glo. Setelah kesuksesan film pertamanya yang berhasil meraih penghargaan film bergengsi, Glo menemui kesulitan besar dalam merampungkan film keduanya. Tidak hanya terhambat dalam mencari ide cerita yang bagus – dan, yang menurutnya, harus naik kelas jika dibandingkan dengan film pertamanya – Glo juga kesulitan mendapatkan dana untuk memproduksi filmnya tersebut. Satu-satunya bantuan yang dapat ia harapkan berasal dari ibu kandungnya sendiri, Mak Gondut (Mak Gondut). Sayangnya… bantuan tersebut tidak akan datang begitu saja pada Glo.
Mak Gondut adalah seorang wanita yang masih memegang teguh kebudayaan Batak dalam kesehariannya. Baginya, kesuksesan seorang wanita diukur dengan keberhasilannya dalam berumah tangga. Dan khusus untuk seorang wanita berdarah Batak, kesuksesan tersebut masih ditambah lagi dengan kemampuan untuk menikah dengan seorang pria Batak. Usia Glo yang telah menginjak 29 tahun membuat Mak Gondut selalu memburu-buru puterinya untuk segera mencari jodoh. Guna menarik minat puterinya, Mak Gondut lalu memberikan sebuah penawaran: jika Glo mau menikahi seorang pria berdarah Batak, maka Mak Gondut akan memberikan uang yang cukup untuk biaya produksi film. Sebuah penawaran yang jelas ditolak mentah-mentah oleh Glo. Hasilnya… keduanya lantas terlibat dalam sebuah perang pembuktian kebenaran pendapat masing-masing.
Lewat Demi Ucok, Sammaria Simanjuntak sekali lagi membuktikan bahwa dirinya masih memiliki segudang ide-ide cerita besar untuk dituangkan dalam filmnya. Ketika para pembuat film lain masih kelimpungan untuk mencari ide yang nyeleneh untuk dipresentasikan dalam film mereka atau beralih untuk mengadaptasi karya-karya sastra popular, Sammaria justru berpaling pada pengalaman pribadi dalam kesehariannya, baik sebagai seorang puteri yang berasal dari keluarga berdarah Batak maupun sebagai seorang pembuat film. Namun, tentu saja, sebuah film tidak hanya dapat mengandalkan ide besar semata. Ide besar tersebut harus dapat dikembangkan menjadi sebuah presentasi cerita yang besar pula. Disinilah letak kelemahan Demi Ucok.
Layaknya sebuah mobil yang berjalan cepat, Sammaria seperti menekan penuh gas penceritaan Demi Ucok semenjak film ini dimulai. Hasilnya, Demi Ucok benar-benar terasa hadir dengan ritme penceritaan yang cepat dalam mengenalkan deretan karakter serta komedinya di awal film. Guyonan yang berisi satir mengenai kondisi sosial, politik, industri perfilman nasional hingga guyonan-guyonan yang bernafaskan kebudayaan Batak berhasil disajikan secara penuh pada separuh awal durasi penceritaan film ini. Menghibur walaupun seringkali terasa bagaikan kumpulan sketsa komedi daripada sebagai sebuah kesatuan cerita yang kuat. Sayangnya, setelah masa-masa tersebut, Sammaria kelihatan seperti kehilangan ide mengenai bagaimana cara melanjutkan kisah yang ia bangun.
Paruh kedua Demi Ucok kehilangan banyak energi komedinya untuk kemudian berganti dengan drama ringan seputar hubungan ibu dan anak yang sialnya malah gagal untuk bekerja sama baiknya dengan penceritaan awal Demi Ucok. Pada paruh kedua ini pula, Demi Ucok terkesan menjadi sebuah perkumpulan kisah-kisah pendek yang gagal berpadu dengan baik satu sama lain. Hal ini terus berlanjut hingga durasi sepanjang 79 menit film ini berakhir, dengan Sammaria terlihat seperti melemparkan begitu saja berbagai ide yang ia miliki – termasuk tentang kisah penyakit yang diderita ibunya atau kisah perjuangan sahabatnya, A Cun (Sunny Soon), untuk meraih ketenaran – tanpa pernah berhasil mengolahnya dengan baik.
Departemen akting Demi Ucok sendiri mampu memberikan penampilan yang kuat, khususnya dari dua pemeran utama film ini, Geraldine Sianturi dan Mak Gondut. Keduanya mampu memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai pasangan ibu dan anak yang saling bersaing dalam menunjukkan kebenaran prinsip hidup masing-masing. Walaupun hadir dengan sikap komedi yang mencuat, namun Geraldine dan Mak Gondut tidak pernah terkesan berlebihan dalam menampilkan aktingnya. Beberapa karakter pendukung juga mewarnai banyak adegan Demi Ucok. Sayangnya, karakter-karakter pendukung tersebut tidak pernah diberikan porsi cerita yang memadai untuk dapat menghasilkan kisah pendukung yang esensial dalam mengawal kisah utama yang disajikan film ini.
Presentasi teknikal Demi Ucok juga harus diakui memiliki kualitas yang kurang memuaskan – jika tidak mau disebut sebagai mengecewakan. Banyak pihak yang mungkin akan memaklumi hal ini dengan anggapan bahwa Demi Ucok adalah sebuah film yang diproduksi secara independen. Pun begitu, bahkan Demi Ucok memiliki presentasi teknikal yang lebih lemah jika dibandingkan dengan film Sammaria sebelumnya, cin(T)a, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk ditayangkan secara luas di layar bioskop nasional. Demi Ucok hadir dengan kualitas sinematografi dan tata editing yang terkesan dilakukan secara buru-buru sehingga tidak mampu tampil maksimal. Kasar dan begitu mengganggu.
Demi Ucok sebenarnya memiliki ide dasar penceritaan yang jelas menarik. Sayangnya, ide dasar tersebut mendapatkan hambatan dari cara pengembangan cerita yang terlalu sempit. Setelah menyajikan ide tersebut sebagai sebuah komedi yang berjalan bombastis semenjak permulaan film, Sammaria Simanjuntak kemudian seperti kehilangan ide mengenai bagaimana cara yang tepat untuk meneruskan kisah tersebut. Akhirnya, Demi Ucok justru terjebak ke dalam berbagai drama yang sama sekali tidak esensial kehadirannya. Parahnya lagi, sisi teknikal film ini juga gagal untuk memberikan tampilan akhir yang memuaskan. Sebuah contoh lain dari ide segar yang sayangnya gagal untuk dieksekusi dengan baik.
Film : Demi Ucok
Directed by Sammaria Simanjuntak Produced by Sammaria Simanjuntak Written by Sammaria Simanjuntak Starring Geraldine Sianturi, Mak Gondut, Sunny Soon, Saira Jihan, Nora Samosir, Joko Anwar Music by Muhammad Betadikara Cinematography Hegar A Junaedi Editing by Anky Prasetya Studio PT Kepompong Gendut/Royal Cinema Multimedia Running time 79 minutes Country Indonesia Language Indonesian.
Referensi :
1. http://movienthusiast.com/2013/01/review-demi-ucok-2012/
2. http://amiratthemovies.wordpress.com/2013/01/04/review-demi-ucok-2013/
Review Film : Demi Ucok Film Batak Populer 2013
Nama Sammaria Simanjuntak berhasil mencuat di blantika industri film Indonesia setelah filmnya cin(T)a (2009), yang secara cerdas mengangkat tema penceritaan mengenai hubungan cinta antar pasangan yang berbeda agama, mampu mencuri perhatian banyak pecinta film Indonesia dan bahkan berhasil memenangkan penghargaan Penulis Skenario Cerita Asli Terbaik di ajang Festival Film Indonesia pada tahun tersebut. Lalu apa yang dilakukan Sammaria untuk mengikuti kesuksesan besar tersebut? Empat tahun setelahnya, termasuk setelah beberapa jangka waktu proses pengumpulan dana secara gerilya agar filmnya dapat ditayangkan di layar bioskop nasional, Sammaria akhirnya merilis Demi Ucok, sebuah film drama komedi dengan kisah yang terasa sangat personal plus dengan balutan kebudayaan Batak yang kental.
Demi Ucok berkisah mengenai seorang pembuat film muda bernama Gloria Sinaga (Geraldine Sianturi) yang akrab dipanggil Glo. Setelah kesuksesan film pertamanya yang berhasil meraih penghargaan film bergengsi, Glo menemui kesulitan besar dalam merampungkan film keduanya. Tidak hanya terhambat dalam mencari ide cerita yang bagus – dan, yang menurutnya, harus naik kelas jika dibandingkan dengan film pertamanya – Glo juga kesulitan mendapatkan dana untuk memproduksi filmnya tersebut. Satu-satunya bantuan yang dapat ia harapkan berasal dari ibu kandungnya sendiri, Mak Gondut (Mak Gondut). Sayangnya… bantuan tersebut tidak akan datang begitu saja pada Glo.
Mak Gondut adalah seorang wanita yang masih memegang teguh kebudayaan Batak dalam kesehariannya. Baginya, kesuksesan seorang wanita diukur dengan keberhasilannya dalam berumah tangga. Dan khusus untuk seorang wanita berdarah Batak, kesuksesan tersebut masih ditambah lagi dengan kemampuan untuk menikah dengan seorang pria Batak. Usia Glo yang telah menginjak 29 tahun membuat Mak Gondut selalu memburu-buru puterinya untuk segera mencari jodoh. Guna menarik minat puterinya, Mak Gondut lalu memberikan sebuah penawaran: jika Glo mau menikahi seorang pria berdarah Batak, maka Mak Gondut akan memberikan uang yang cukup untuk biaya produksi film. Sebuah penawaran yang jelas ditolak mentah-mentah oleh Glo. Hasilnya… keduanya lantas terlibat dalam sebuah perang pembuktian kebenaran pendapat masing-masing.
Lewat Demi Ucok, Sammaria Simanjuntak sekali lagi membuktikan bahwa dirinya masih memiliki segudang ide-ide cerita besar untuk dituangkan dalam filmnya. Ketika para pembuat film lain masih kelimpungan untuk mencari ide yang nyeleneh untuk dipresentasikan dalam film mereka atau beralih untuk mengadaptasi karya-karya sastra popular, Sammaria justru berpaling pada pengalaman pribadi dalam kesehariannya, baik sebagai seorang puteri yang berasal dari keluarga berdarah Batak maupun sebagai seorang pembuat film. Namun, tentu saja, sebuah film tidak hanya dapat mengandalkan ide besar semata. Ide besar tersebut harus dapat dikembangkan menjadi sebuah presentasi cerita yang besar pula. Disinilah letak kelemahan Demi Ucok.
Layaknya sebuah mobil yang berjalan cepat, Sammaria seperti menekan penuh gas penceritaan Demi Ucok semenjak film ini dimulai. Hasilnya, Demi Ucok benar-benar terasa hadir dengan ritme penceritaan yang cepat dalam mengenalkan deretan karakter serta komedinya di awal film. Guyonan yang berisi satir mengenai kondisi sosial, politik, industri perfilman nasional hingga guyonan-guyonan yang bernafaskan kebudayaan Batak berhasil disajikan secara penuh pada separuh awal durasi penceritaan film ini. Menghibur walaupun seringkali terasa bagaikan kumpulan sketsa komedi daripada sebagai sebuah kesatuan cerita yang kuat. Sayangnya, setelah masa-masa tersebut, Sammaria kelihatan seperti kehilangan ide mengenai bagaimana cara melanjutkan kisah yang ia bangun.
Paruh kedua Demi Ucok kehilangan banyak energi komedinya untuk kemudian berganti dengan drama ringan seputar hubungan ibu dan anak yang sialnya malah gagal untuk bekerja sama baiknya dengan penceritaan awal Demi Ucok. Pada paruh kedua ini pula, Demi Ucok terkesan menjadi sebuah perkumpulan kisah-kisah pendek yang gagal berpadu dengan baik satu sama lain. Hal ini terus berlanjut hingga durasi sepanjang 79 menit film ini berakhir, dengan Sammaria terlihat seperti melemparkan begitu saja berbagai ide yang ia miliki – termasuk tentang kisah penyakit yang diderita ibunya atau kisah perjuangan sahabatnya, A Cun (Sunny Soon), untuk meraih ketenaran – tanpa pernah berhasil mengolahnya dengan baik.
Departemen akting Demi Ucok sendiri mampu memberikan penampilan yang kuat, khususnya dari dua pemeran utama film ini, Geraldine Sianturi dan Mak Gondut. Keduanya mampu memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai pasangan ibu dan anak yang saling bersaing dalam menunjukkan kebenaran prinsip hidup masing-masing. Walaupun hadir dengan sikap komedi yang mencuat, namun Geraldine dan Mak Gondut tidak pernah terkesan berlebihan dalam menampilkan aktingnya. Beberapa karakter pendukung juga mewarnai banyak adegan Demi Ucok. Sayangnya, karakter-karakter pendukung tersebut tidak pernah diberikan porsi cerita yang memadai untuk dapat menghasilkan kisah pendukung yang esensial dalam mengawal kisah utama yang disajikan film ini.
Presentasi teknikal Demi Ucok juga harus diakui memiliki kualitas yang kurang memuaskan – jika tidak mau disebut sebagai mengecewakan. Banyak pihak yang mungkin akan memaklumi hal ini dengan anggapan bahwa Demi Ucok adalah sebuah film yang diproduksi secara independen. Pun begitu, bahkan Demi Ucok memiliki presentasi teknikal yang lebih lemah jika dibandingkan dengan film Sammaria sebelumnya, cin(T)a, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk ditayangkan secara luas di layar bioskop nasional. Demi Ucok hadir dengan kualitas sinematografi dan tata editing yang terkesan dilakukan secara buru-buru sehingga tidak mampu tampil maksimal. Kasar dan begitu mengganggu.
Demi Ucok sebenarnya memiliki ide dasar penceritaan yang jelas menarik. Sayangnya, ide dasar tersebut mendapatkan hambatan dari cara pengembangan cerita yang terlalu sempit. Setelah menyajikan ide tersebut sebagai sebuah komedi yang berjalan bombastis semenjak permulaan film, Sammaria Simanjuntak kemudian seperti kehilangan ide mengenai bagaimana cara yang tepat untuk meneruskan kisah tersebut. Akhirnya, Demi Ucok justru terjebak ke dalam berbagai drama yang sama sekali tidak esensial kehadirannya. Parahnya lagi, sisi teknikal film ini juga gagal untuk memberikan tampilan akhir yang memuaskan. Sebuah contoh lain dari ide segar yang sayangnya gagal untuk dieksekusi dengan baik.
Film : Demi Ucok
Directed by Sammaria Simanjuntak Produced by Sammaria Simanjuntak Written by Sammaria Simanjuntak Starring Geraldine Sianturi, Mak Gondut, Sunny Soon, Saira Jihan, Nora Samosir, Joko Anwar Music by Muhammad Betadikara Cinematography Hegar A Junaedi Editing by Anky Prasetya Studio PT Kepompong Gendut/Royal Cinema Multimedia Running time 79 minutes Country Indonesia Language Indonesian.
Referensi :
1. http://movienthusiast.com/2013/01/review-demi-ucok-2012/
2. http://amiratthemovies.wordpress.com/2013/01/04/review-demi-ucok-2013/
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.