Tafsir Distortif Sila Ke-4 Pancasila Demi Kekuasaan
BECAK SIANTAR - Kekuasaan, memang bisa seperti obat bius. Jika digunakan sesuai kadar dan fungsinya, obat bius bisa membantu penyembuhan dari sakit dan bermanfaat untuk kesehatan manusia. Tetapi jika overdosis, maka akan sangat berbahaya. Manusia yang secerdas dan sesehat apapun, jika telah overdosis dengan kekuasaan akan cenderung kehilangan akal sehat dan nuraninya. Apapaun akan dilakukan, termasuk menghianati dan menjual harga diri serta nalar sehat.
Inilah yang saya pahami ketika Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon (FZ), bicara soal Pancasila, khususnya Sila ke 4, "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan" dlm kaitan dengan Rancangan Undang-Uncang (RUU) Pilkada, khususnya kontroversi antara Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). FZ mengatakan: "Sudah jelas demokrasi menurut sila keempat, demokrasi perwakilan. Kalau mau pilkada langsung, ubah dulu Pancasila", seperti yang dilansir oleh Kompas.com Sabtu (13/9/2014) (Fadli Zon: Kalau Mau Pilkada Langsung, Ubah Dulu Pancasila)
Statemen ini menurut hemat saya adalah tafsir yang distortif dan secara nalar tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa distortif? Sebab FZ sejatinya bicara tentang dua hal yang berbeda, tetapi mencampuradukkannya sehingga seakan-akan sama. Demokrasi memang bisa dilaksanakan melalui dua mekanisme: secara langsung (direct democracy), dan tidak langsung melalui perwakilan (indirect cemocracy, representative democracy). Sila ke-4 Pancasila, menunjukkan bahwa mekanisme demokrasi, bisa dilakukan secara perwakilan, tetapi tidak menentukan mekanisme tersebut sebagai SATU-SATUNYA. Yang ditekankan oleh Sila ke 4 adalah bahwa esensi berdemokrasi adalah bahwa kedaulatan rakyat harus selalu dilaksanakan dengan landasan etik berupa hikmat kebijaksanaan, dan selalu mengutamakan permusyawaratan ketika mengambil suatu keputusan untuk kepentingan bersama.
Itulah sebabnya dalam praktik demokrasi di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, ada dua model mekanisme dalam hal pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif: langsung dan tidak langsung. Kedua-duanya sama sama sah dan sama-sama Pancasilais. Itu sebabnya dalam pemilihan kepala desa, dilakukan langsung, demikian pula pemilihan Presiden (Pilpres), dan juga pemilihan legislatif (Pileg). Jika pemilihan langsung tidak sah dan tidak Pancasilais, maka seluruh Pileg sejak 1955 sampai 2014 adalah menyalahi Pancasila, terutama Sila ke-4. Demikian pula semua pemilihan kepala desa yg terjadi di seantero tanah air yg menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Jika FZ sebagai petinggi Partai Gerindra menerima dan menikmati hasil Pileg (DPR/D) dan mengikuti dua kali Pilpres secara langsung, berarti FZ tidak konsisten dengan statemennya.
Lalu bagaimana dengan mekanisme pilihan Kepala Daerah? Saya setuju 100% bahwa mekanisme langsung maupun tidak langsung adalah Konstitusional dan sesuai Sila ke 4 Pancasila. Maka jika FZ mengatakan bahwa jika ingin pilihan langsung harus mengubah dahulu Sila ke 4 Pancasila, maka berarti telah terjadi distorsi atau penyelewengan tafsir terhadap Pancasila serta Konstitusi. FZ dan Koalisi Merah Putih (KMP) serta para pendukungnya, tentu berhak memperjuangkan mekanisme pilihan kepala daerah lewat DPRD, tetapi tidak bisa mengatakan bahwa pilihan langsung bertentangan dengan Sila ke 4 Pancasila. Hak yang sama dimiliki mereka yang menginginkan mekanisme pilihan langsung (pilsung). Jika pendukung pilsung itu mengatakan pilihan lewat DPRD tidak Pancasilais, mereka juga salah.
Persoalannya adalah dari kedua mekanisme tersebut mana yang lebih baik dan lebih sesuai dengan cita-cita reformasi dan praktik demokrasi serta pemajuan demokrasi di negeri ini? Itu saja. Dalam perdebatan di Parlemen dan perbincangan di ruang publik boleh-boleh saja berbeda pendapat melalui adu argumentasi yang nalar dan bukti-bukti yang nyata. Namun jika perbincangan telah distortif dan manipulatif melalui retorika yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, maka harus dikritisi dan ditolak. Pada akhirnya, rakyat Indonesia yang akan menjadi subyek dan obyek dari pelaksanaan demokrasi. DPR dan DPRD adalah perwakilan rakyat, bukan rakyat itu sendiri. Sejauh para wakil rakyat memang masih mengikuti kehendak rakyat, maka tentu rakyat akan mendukung, Tetapi jika para wakil rakyat di Senayan melakukan manipulasi dan mencederai amanat para pemilihnya, maka mereka akan kehilangan trust dan dukungan rakyat.
Sejarah Indonesia sudah beberapa kali menunjukkan bukti bahwa ketika para politisi dan wakil rakyat melawan rakyatnya sendiri, maka merekalah yang akan kalah. Jadi saya mengingatkan FZ dkk dalam KMP agar tetap berjuang sesuai kaidah-kaidah dan etika yang disepakati oleh rakyat Indonesia. Tafsir-tafsir distortif dan manipulatif terhadap Pancasila tidak akan mempan dan tidak akan bertahan, seperti yang pernah dilakukan oleh rezim Orla (Orde Lama) dan Orba (Orde baru) dahulu. [ASHikam]
Oleh: Prof Muhammad AS Hikam (14 September 2014)
Inilah yang saya pahami ketika Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon (FZ), bicara soal Pancasila, khususnya Sila ke 4, "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan" dlm kaitan dengan Rancangan Undang-Uncang (RUU) Pilkada, khususnya kontroversi antara Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). FZ mengatakan: "Sudah jelas demokrasi menurut sila keempat, demokrasi perwakilan. Kalau mau pilkada langsung, ubah dulu Pancasila", seperti yang dilansir oleh Kompas.com Sabtu (13/9/2014) (Fadli Zon: Kalau Mau Pilkada Langsung, Ubah Dulu Pancasila)
Ist.
Prof Muhammad AS Hikamn
|
Itulah sebabnya dalam praktik demokrasi di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, ada dua model mekanisme dalam hal pemilihan, baik legislatif maupun eksekutif: langsung dan tidak langsung. Kedua-duanya sama sama sah dan sama-sama Pancasilais. Itu sebabnya dalam pemilihan kepala desa, dilakukan langsung, demikian pula pemilihan Presiden (Pilpres), dan juga pemilihan legislatif (Pileg). Jika pemilihan langsung tidak sah dan tidak Pancasilais, maka seluruh Pileg sejak 1955 sampai 2014 adalah menyalahi Pancasila, terutama Sila ke-4. Demikian pula semua pemilihan kepala desa yg terjadi di seantero tanah air yg menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Jika FZ sebagai petinggi Partai Gerindra menerima dan menikmati hasil Pileg (DPR/D) dan mengikuti dua kali Pilpres secara langsung, berarti FZ tidak konsisten dengan statemennya.
Lalu bagaimana dengan mekanisme pilihan Kepala Daerah? Saya setuju 100% bahwa mekanisme langsung maupun tidak langsung adalah Konstitusional dan sesuai Sila ke 4 Pancasila. Maka jika FZ mengatakan bahwa jika ingin pilihan langsung harus mengubah dahulu Sila ke 4 Pancasila, maka berarti telah terjadi distorsi atau penyelewengan tafsir terhadap Pancasila serta Konstitusi. FZ dan Koalisi Merah Putih (KMP) serta para pendukungnya, tentu berhak memperjuangkan mekanisme pilihan kepala daerah lewat DPRD, tetapi tidak bisa mengatakan bahwa pilihan langsung bertentangan dengan Sila ke 4 Pancasila. Hak yang sama dimiliki mereka yang menginginkan mekanisme pilihan langsung (pilsung). Jika pendukung pilsung itu mengatakan pilihan lewat DPRD tidak Pancasilais, mereka juga salah.
Persoalannya adalah dari kedua mekanisme tersebut mana yang lebih baik dan lebih sesuai dengan cita-cita reformasi dan praktik demokrasi serta pemajuan demokrasi di negeri ini? Itu saja. Dalam perdebatan di Parlemen dan perbincangan di ruang publik boleh-boleh saja berbeda pendapat melalui adu argumentasi yang nalar dan bukti-bukti yang nyata. Namun jika perbincangan telah distortif dan manipulatif melalui retorika yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, maka harus dikritisi dan ditolak. Pada akhirnya, rakyat Indonesia yang akan menjadi subyek dan obyek dari pelaksanaan demokrasi. DPR dan DPRD adalah perwakilan rakyat, bukan rakyat itu sendiri. Sejauh para wakil rakyat memang masih mengikuti kehendak rakyat, maka tentu rakyat akan mendukung, Tetapi jika para wakil rakyat di Senayan melakukan manipulasi dan mencederai amanat para pemilihnya, maka mereka akan kehilangan trust dan dukungan rakyat.
Sejarah Indonesia sudah beberapa kali menunjukkan bukti bahwa ketika para politisi dan wakil rakyat melawan rakyatnya sendiri, maka merekalah yang akan kalah. Jadi saya mengingatkan FZ dkk dalam KMP agar tetap berjuang sesuai kaidah-kaidah dan etika yang disepakati oleh rakyat Indonesia. Tafsir-tafsir distortif dan manipulatif terhadap Pancasila tidak akan mempan dan tidak akan bertahan, seperti yang pernah dilakukan oleh rezim Orla (Orde Lama) dan Orba (Orde baru) dahulu. [ASHikam]
Oleh: Prof Muhammad AS Hikam (14 September 2014)
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.