Mengintip Opera Batak "Perempuan di Pinggir Danau", Tentang Derita Perempuan Di Danau Toba
BECAK SIANTAR - Yuk Mengintip Opera Batak "Perempuan di Pinggir Danau", Tentang Derita Perempuan Di Danau Toba. Simak lebih jauh di bawah ini seperti yang dilansir oleh Jogjanews.com.
Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) kembali menggelar pementasan dengan naskah “Perempuan di Pinggir Danau” karya Lena Simanjuntak.
Pementasan ini mengangkat isu lingkungan, air dan perempuan. Telah berkeliling di Pulau Sumatra (Medan, Pematangsiantar, Balige) dan Bandung, Pada Senin (21/10) pementasan ini memberikan warna yang berbeda di panggung Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo, Yogyakarta.
Dengan durasi sekitar 2,5 jam, pementasan “Perempuan di Pinggir Danau” mengambil cerita asal muasal terjadinya Danau Toba dilihat dari cerita dongeng dan juga keilmuan seperti ilmu vulkanologi. Keduanya melebur menjadi satu dalam dialog yang dilakukan narator diperankan Thompson Hs.
Ulos yang dipakai para aktor, alunan suling khas Samosir dan musik tradisionalnya memberikan warna yang berbeda di panggung yang lebih lekat dengan budaya Jawa. Begitu juga, logat dan ‘guyonan’ Batak yang khas menimbulkan gelak tawa dari para penonton yang menyaksikan acara tersebut, khususnya para perantau pulau Sumatra yang tinggal di Yogyakarta.
Beberapa kali bahasa daerah diucapkan secara spontan dari para aktor, namun untuk tetap membawa penonton memahami cerita ini, peran narator meluruskan kembali mengenai alur cerita dalam pementasan ini.
Tidak hanya itu, narator juga berperan dalam memperkenalkan para tokoh dan pendogeng yang memberikan pesan-pesan untuk masyarakat, terutama para cucu di masa yang akan mendatang.
Begitu juga kehadiran lakon Ibu Ikan yang dimunculkan sebagai lambang kesuburan yang melengkapi konflik dalam pemenasan ini. Ibu Ikan interpretasi dari ibu-ibu yang merintih ketika gejala pengrusakan mulai terjadi di danau Toba.
Pementasan ini diselenggarakan atas dasar keprihatinan Lena Simanjuntak, penulis naskah sekaligus sutradara yang melihat perubahan yang sangat signifikan terjadi di Danau Toba. Alamnya yang tak lagi seimbang karena pembangunan perumahan, keramba, penebangan pohon, dan pencemaran air danau.
Melalui pementasan ini diharapkan dapat mendorong munculnya kembali kesadaran masyarakat mengenai keadaan lingkungan dan perempuan di sekitar Danau Toba.
Pada akhir pementasan, penonton pun diberikan selebaran yaitu surat berjudulMasa Depanjika tahun 2050, orang-orang bekerja untuk mencari air, bukan uang. Ini karena sulitnya mencari air.
Bagaimana menghadapinya, termasuk membayangkan para perempuan, apakah sampai hati membersihkan bayinya dengan air kotor di Danau Toba yang sudah tercemari. Lena ingin mengatakan bahwa yang terkena dampak dari pencemaran di Danau Toba adalah perempuan.
Namun pencemaran air dan lingkungan di sekitarnya lebih dekat kepada para perempuan atau ibu-ibu yang mengingat simbolik danau itu adalah penjelmaan seorang perempuan.
Sumber: Jogja News
Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) kembali menggelar pementasan dengan naskah “Perempuan di Pinggir Danau” karya Lena Simanjuntak.
Pementasan ini mengangkat isu lingkungan, air dan perempuan. Telah berkeliling di Pulau Sumatra (Medan, Pematangsiantar, Balige) dan Bandung, Pada Senin (21/10) pementasan ini memberikan warna yang berbeda di panggung Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo, Yogyakarta.
Dengan durasi sekitar 2,5 jam, pementasan “Perempuan di Pinggir Danau” mengambil cerita asal muasal terjadinya Danau Toba dilihat dari cerita dongeng dan juga keilmuan seperti ilmu vulkanologi. Keduanya melebur menjadi satu dalam dialog yang dilakukan narator diperankan Thompson Hs.
Ulos yang dipakai para aktor, alunan suling khas Samosir dan musik tradisionalnya memberikan warna yang berbeda di panggung yang lebih lekat dengan budaya Jawa. Begitu juga, logat dan ‘guyonan’ Batak yang khas menimbulkan gelak tawa dari para penonton yang menyaksikan acara tersebut, khususnya para perantau pulau Sumatra yang tinggal di Yogyakarta.
Beberapa kali bahasa daerah diucapkan secara spontan dari para aktor, namun untuk tetap membawa penonton memahami cerita ini, peran narator meluruskan kembali mengenai alur cerita dalam pementasan ini.
Tidak hanya itu, narator juga berperan dalam memperkenalkan para tokoh dan pendogeng yang memberikan pesan-pesan untuk masyarakat, terutama para cucu di masa yang akan mendatang.
Begitu juga kehadiran lakon Ibu Ikan yang dimunculkan sebagai lambang kesuburan yang melengkapi konflik dalam pemenasan ini. Ibu Ikan interpretasi dari ibu-ibu yang merintih ketika gejala pengrusakan mulai terjadi di danau Toba.
Pementasan ini diselenggarakan atas dasar keprihatinan Lena Simanjuntak, penulis naskah sekaligus sutradara yang melihat perubahan yang sangat signifikan terjadi di Danau Toba. Alamnya yang tak lagi seimbang karena pembangunan perumahan, keramba, penebangan pohon, dan pencemaran air danau.
Melalui pementasan ini diharapkan dapat mendorong munculnya kembali kesadaran masyarakat mengenai keadaan lingkungan dan perempuan di sekitar Danau Toba.
Pada akhir pementasan, penonton pun diberikan selebaran yaitu surat berjudulMasa Depanjika tahun 2050, orang-orang bekerja untuk mencari air, bukan uang. Ini karena sulitnya mencari air.
Bagaimana menghadapinya, termasuk membayangkan para perempuan, apakah sampai hati membersihkan bayinya dengan air kotor di Danau Toba yang sudah tercemari. Lena ingin mengatakan bahwa yang terkena dampak dari pencemaran di Danau Toba adalah perempuan.
Namun pencemaran air dan lingkungan di sekitarnya lebih dekat kepada para perempuan atau ibu-ibu yang mengingat simbolik danau itu adalah penjelmaan seorang perempuan.
Sumber: Jogja News
loading...
No comments
Berkomentarlah Sesuai Topik. Jangan pasang link atau link tersembunyi di dalam komentar, karena akan kami hapus (pilih Name/URL bila ingin menuliskan URL / Link anda). Kami tidak betanggung jawab Isi komentar anda, oleh karena itu, berlakulah sopan.